PENDAHULUAN

Penulisan sejarah (historiografi) dengan menempuh metode sejarah pada tingkat lokal Samarinda secara khusus dan Kalimantan Timur secara umum masih langka. Yang lebih menonjol adalah penyebaran kisah cerita tutur, legenda, dan/atau “konon kabarnya” yang terkontaminasi fiksi atau kisah khayalan (imajinatif) yang tidak bisa dijadikan referensi sejarah.
Tulisan berjudul “Tragedi 1950 di Lapangan Kinibalu Samarinda” ini merupakan rekonstruksi peristiwa politik berskala lokal dan berimplikasi nasional yang memfokuskan pada tempat kejadian perkara (spasial) di lokasi sebuah lapangan di area pusat pemerintahan ibu kota Kalimantan Timur. Temporal sejarah tahun 1950 dipilih karena penyebaran dan publikasi mengenai sejarah lokal pada tahun tersebut belum memadai.
Adapun maksud dan tujuan dari historiografi ini ialah mempublikasikan sebuah peristiwa bersejarah di titik lokasi dengan nama dan fungsi ruang bumi yang berpotensi beralih fungsi. Dalam kaitan ini, tempat bersejarah yang semula berwujud tanah lapang hasil perencanaan tata kota kolonial Belanda, lalu menjadi Lapangan Kinibalu sebagai fasilitas olah raga terutama sepak bola, berpeluang sirna seiring dinamika pembangunan atau kebijakan birokrat.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai materi politis atau bahan kampanye atau propaganda untuk mendukung atau menolak suatu kebijakan birokrat tertentu. Hal ini karena sebagaimana penegasan Kuntowijoyo (1995), bahwa sejarawan—dalam hal ini definisinya ialah penulis sejarah—tidak berurusan dengan kepentingan seremonial, peringatan, atau politik tertentu. “Urusan sejarawan hanyalah penjelasannya, dan urusan peringatan itu sepenuhnya adalah keputusan politik,” ujar Guru Besar Ilmu Sejarah UGM itu dalam bukunya, Pengantar Ilmu Sejarah.
Pencarian sumber sejarah lisan pernah dilakukan, tapi hasilnya nihil. Sumber sejarah lisan dengan kategori pelaku sekaligus penyaksi, pelaku pemikir, pelaku perencana, pelaku pelaksana, pelaku pengikut, dan penyaksi sejarah, sudah tutup usia. Akan tetapi, terdapat testimoni yang diterbitkan pada puluhan tahun silam yang ditulis oleh beberapa pelaku sekaligus penyaksi sejarah. Dengan karya monograf itulah dapat disusun sejarah ini berdasarkan riset pustaka.
Dua sumber tertulis utama adalah buku memoar karya Abdoel Moeis Hassan dengan bantuan penulisan oleh Oemar Dachlan (1994) serta buku riwayat perjuangan bersenjata di Samarinda oleh M. Djunaid Sanusi (1984). Abdoel Moeis Hassan adalah Gubernur Kaltim periode 1962–1966 yang menjadi Ketua Front Nasional Kaltim pada masa Revolusi Kemerdekaan. Moeis Hassan ini bukanlah tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Samarinda Seberang. Abdoel Moeis Hassan (populer disingkat A. Moeis Hassan) berbeda dengan Inche Abdoel Moeis (populer disingkat I.A. Moeis). Moeis Hassan kelahiran Samarinda tahun 1924 dan wafat 2005. Adapun I.A. Moeis lahir empat tahun lebih dulu daripada Moeis. Moeis yang bernama depan Inche terkenal berputra Emir Moeis, tokoh partai politik Kaltim pascareformasi.
Sementara itu, Oemar Dachlan adalah jurnalis Kaltim yang digelari wartawan tiga zaman karena beraktivitas dalam bidang jurnalistik sejak zaman kolonial hingga Orde Baru. Ia kelahiran 1913 dan wafat 2008 dalam usia 94 tahun. Adapun Djunaid Sanusi merupakan pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) Samarinda periode 1945–1950.
Selain dua dokumentasi tersebut, terdapat beberapa referensi yang menyajikan fakta sejarah Kaltim seputar tahun 1950. Buku berjudul Republik Indonesia Propinsi Kalimantan terbitan Kementerian Penerangan RI 1953 cukup detail mendeskripsikan dan menarasikan kejadian politik di Kaltim semasa prakemerdekaan dan pascaproklamasi. Kemudian, skripsi tahun 1968 oleh Mohammad Asli Amin, sejarawan akademis lokal, mengenai pertumbuhan Kerajaan Kutai Kertanegara, merupakan kontribusi berharga karena isinya mengandung analisis yang tajam termasuk mendeskripsikan riwayat intrik dan konflik antara masyarakat dengan pihak aristokrat (bangsawan) lokal.
Selain itu, pustaka lainnya digunakan sebagai rujukan untuk mengonfirmasi peristiwa berskala nasional yang berimplikasi pada peristiwa lokal di Kaltim.
METODE DAN METODOLOGI
Penulisan sejarah ini menempuh metode historiografi yang baku. Tahap pertama adalah heuristik, yakni pengumpulan sumber dari dokumen, literatur, referensi tertulis. Tahap kedua adalah verifikasi, artinya melakukan kritik sumber meliputi autentisitas (keaslian/keabsahan) dan kredibilitas (kepercayaan) terhadap sumber sejarah. Tahap ketiga adalah interpretasi, yakni penafsiran atas sumber sejarah dengan cara analisis (penguraian) dan sintesis (penyatuan). Tahap keempat adalah historiografi, yakni penulisan sejarah dengan memuat tiga substansi yaitu pengantar, hasil riset, dan simpulan dengan pembahasan yang memiliki retorik.
Berhubung publikasi tulisan ini di internet, dengan alasan teknis penulis tidak menggunakan catatan kaki. Pemakaian catatan kaki akan diterapkan nanti pada naskah yang dipersiapkan dalam format buku monograf.
Adapun metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan sejarah analitis. Pendekatan ini dimaksudkan agar penulisannya tidak sekadar deskripsi-naratif sebagaimana penulisan konvensional, tetapi juga memperdalam daya penjelasannya sebagaimana visi historiografi modern.
PRAKONDISI PERGOLAKAN LOKAL 1945–1949
Sukarno-Hatta yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta menjadikan Kalimantan Timur terbebas dari kekuasaan kolonial. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi Belanda untuk melucuti tentara Jepang yang menyerah pada September 1945 berlanjut dengan pembentukan pemerintahan sipil Belanda bertajuk Residen Kalimantan Timur per 1 Januari 1946.
Sebagai konsekuensi Perjanjian Linggarjati 1946, Daerah Kalimantan Timur yang termasuk wilayah Provisi Kalimantan dinyatakan terlepas dari wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, wilayah RI yang diakui hanya Jawa, Madura, dan Sumatra.
Selepas pertempuran Sanga Sanga Januari 1947, prospek politik di pihak Belanda agaknya menjadi opsi logis bagi para sultan. Pergerakan pejuang baik yang bersenjata maupun gerakan politik, semakin terbatas dengan banyaknya pejuang yang dipenjarakan Belanda. Dalam bulan Juli 1947, terjadi perjanjian politik antara Dewan Kutai dengan Pemerintah Hindia Belanda. Dewan Kutai adalah sebuah lembaga semacam DPR dalam swapraja Kutai, yang dibentuk oleh Belanda untuk memperlihatkan keseriusan demokratisasi. Namun, kenyataannya, dewan ini dipergunakan untuk memperkuat kedudukan Belanda dan mengalihkan tuntutan rakyat akan kemerdekaan.

Pada 26 Agustus 1947 Belanda melalui Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johanes Van Mook membentuk Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur. Lembaga ini disebut pula Federasi Kalimantan Timur, disingkat FKT. Dewan ini terdiri atas Kesultanan Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, serta neoswapraja Pasir, dengan ketuanya Sultan Aji Mohammad Parikesit. Sebagai pelaksana harian pemerintahan dibentuk Majelis Pemerintahan dengan ketua Aji Pangeran Sosronegoro (saudara kandung A.M. Parikesit), yang kemudian digantikan oleh Adji Raden Afloes.
Sementara itu, sebagai kamuflase pemenuhan syarat demokrasi, Van Mook membentuk sebuah lembaga perwakilan rakyat bernama Dewan Kalimantan Timur dengan ketuanya M.D. Saad, seorang pegawai utama di Kantor Residen. “DPR” bentukan Belanda ini memakai penasihat yakni Resident van Oost Borneo, alias kepala pemerintahan wilayah Kaltim yang dijabat F.P. Heckman. Dua lembaga tersebut dilantik oleh si penggagas negara boneka, H.J. Van Mook, pada September 1947.

Selanjutnya, Belanda berupaya mendirikan negara Kalimantan dengan mengumpulkan para pembesar dari Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Pulau Laut, dan Pasir, serta Kalimantan Timur di Jakarta. Pihak Kaltim meliputi swapraja Kutai, Bulongan, dan Berau. Dalam sidang di Jakarta itu, terbentuk sebuah panitia perancang ketatanegaraan Kalimantan. Sultan Kutai, Aji Muhammad Parikesit, mendukung penuh gagasan Negara Kalimantan dengan mendudukkan adiknya, yakni Aji Pangeran Kertanegara, sebagai ketua Panitia Pembentukan Negara Kalimantan.
Pada saat gejolak revolusi Indonesia memasuki tahun 1948 hingga 1949, Negara Kalimantan yang diharapkan Van Mook gagal terwujud. Selain karena penentangan yang keras dari organisasi-organisasi politik lokal rakyat Kalimantan, kegagalan itu juga karena internal calon petinggi Negara Kalimantan terjadi friksi. Sultan Parikesit dan Sultan Hamid sebagai Raja Pontianak bersaing keras untuk menjadi kepala Negara Kalimantan. Kesepakatan tidak tercapai walaupun sebenarnya dari estimasi suara, dukungan kepada Sultan Hamid lebih besar. Apabila Sultan Hamid yang menjadi Presiden Kalimantan, maka Kalimantan Timur tidak rela bergabung dalam Negara Kalimantan. Demikian pula sebaliknya, jika Sultan Parikesit yang menjadi Presiden, maka Kalimantan Barat akan mendirikan negara sendiri, dengan Sultan Hamid sebagai kepala negaranya.
Realita sikap Kesultanan terhadap Belanda tersebut mengakibatkan perjuangan rakyat menegakkan kemerdekaan terbelah dalam dua konsentrasi. Djunaid Sanusi (Arifin, 2011: 22), pejuang BPRI Samarinda, mendeskripsikan situasi kala itu, "Suasana hati rakyat pro-Republik saat itu memang kurang suka dengan Kesultanan Kutai yang dekat dengan Belanda. Pada zaman NICA itu, para pejuang di Kaltim dulu merasa seperti menghadapi dua musuh: Belanda dan Kesultanan Kutai."
Berbagai konflik bersenjata dan resolusi dari Partai Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional di Samarinda serta hasil-hasil perundingan antara RI dan Belanda menyebabkan pemerintahan boneka Belanda di Kaltim berbalik arus, mengubah haluan menentang Belanda. Pada 30 November 1949 Dewan Kalimantan Timur pimpinan Aji Raden Kariowiti mengeluarkan mosi (pernyataan) kepada Pemerintah RI untuk mengirimkan misi militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Kaltim.

Pada 4 Desember 1949 Front Nasional yang diketuai Abdoel Moeis Hassan menuntut tiga hal kepada Belanda: (1) Tentara Belanda (KL dan KNIL) mulai sekarang dipersiapkan penarikannya dari seluruh Kalimantan Timur; (2) Menyerahkan penjagaan keamanan kepada TNI yang sudah berada di Kaltim; dan (3) Mendesak diadakannya pembaharuan bentuk dan susunan pemerintah daerah sesudah pemulihan kedaulatan dan sebagai langkah pertama pembubaran dewan-dewan dan diadakannya pemilihan baru.
Pada 11 Desember 1949 rombongan misi TNI di bawah pimpinan Letkol Soekanda Bratamenggala tiba di Balikpapan, lalu tanggal 14 Desember 1949 tiba di Samarinda. Letkol Soekanda meresmikan kesatuan TNI di Samarinda, hasil perubahan dari Batalyon G Brigade XVI pimpinan Wahel Tantawy yang di dalamnya meliputi mantan pasukan BPRI dan Barisan Sadewa. Sementara itu, BPRI Batalyon VIII Brigade S Divisi VI pimpinan Djunaid Sanusi mengambil sikap menunggu dan melihat (wait & see) terhadap dinamika yang ada karena berembus isu akan adanya perlawanan terhadap TNI oleh pihak penguasa lokal.
Pada 27 Desember 1949 di kediaman Resident van Oost Borneo dilakukan acara serah-terima kekuasaan pemerintah Belanda dari Resident Hollestelle kepada pihak Kaltim yang diwakili A.R. Afloes. Bendera Belanda yang pada hari itu masih berkibar di halaman rumah, diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih. Penyerahan kekuasaan di Kaltim ini sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada RI pada tanggal tersebut. Sementara itu, di halaman Gedung Nasional Samarinda diadakan upacara untuk merayakan ‘kemenangan’ RI dengan pengibaran bendera Merah Putih berukuran besar.
ISU SENJATA ILEGAL DI ISTANA SULTAN
Konstelasi politik berubah seiring pelaksanaan keputusan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949. Belanda "terkalahkan" dan harus menyerahkan pemerintahan kepada orang Indonesia sendiri.
Awal tahun 1950 merupakan masa dilematis bagi Sultan Kutai karena pimpinan induknya, Belanda, sudah hengkang dari Indonesia. Situasi ini membuat Sultan dalam posisi dilematis. Masyarakat yang sebelumnya berjuang secara fisik maupun diplomasi dalam Front Nasional gencar menyuarakan aspirasi untuk menghapuskan pemerintahan Federasi Kalimantan Timur dan swapraja-swapraja atau pemerintahan feodal (kesultanan) yang dulu menjadi bawahan Belanda.

Sebelumnya sudah diungkapkan mengenai sekolompok pejuang BPRI yang bersikap wait & see dengan menyingkir ke hutan pada Desember 1949 karena mendengar kabar akan terjadi perlawanan oleh pihak kerajaan lokal terhadap TNI. Situasi menjadi genting dengan beredarnya isu penyelundupan senjata dari Belanda di Samarinda kepada aparat Kesultanan Kutai di Tenggarong pada awal Januari 1950. Djunaid Sanusi dkk berkeyakinan akan terjadi hal-hal negatif dengan keberadaan persenjataan di istana yang dibangun oleh perusahaan beton Belanda bernama Hollandsche Beton Maatschppij NV pada 16 November 1936 itu.
Djunaid Sanusi (1984) mengungkapkan, senjata api tersebut tergolong persenjataan canggih yang tidak dimiliki TNI yang bertugas di Samarinda dan sekitarnya kala itu. Maka, laskar pejuang yang tidak diresmikan menjadi TNI ini berangkat ke Tenggarong. Mereka menuju istana Sultan Kutai yang arsitekturnya berupa beton itu. Dengan landasan pemikiran membela RI, para gerilyawan pimpinan Djunaid Sanusi ini melakukan perlucutan alias penyitaan senjata di keraton Sultan pada 19 Januari 1950. Keraton itu sendiri kini menjadi objek wisata bernama Museum Mulawarman.
PROKLAMASI SULTAN DIRANGKAI TRAGEDI
Empat hari usai perluncutan senjata di istana Sultan di Tenggarong, Sultan Aji Muhammad Parikesit menyelenggarakan rapat umum di sebuah lapangan di ibu kota Residen Kaltim. Lapangan itu kini dikenal dengan nama Lapangan Kinibalu yang terletak di belakang Kantor Gubernur Kaltim. Pada tanggal 23 Januari 1950 itu massa yang hadir berasal dari pihak pemerintahan dan masyarakat pendukung RI.
Dalam rapat umum itu, Sultan Parikesit menyampaikan Proklamasi Kerajaan Kutai Kartanegara yang berisi tiga butir pernyataan, yaitu (1) menyetujui bentuk Negara Kesatuan untuk seluruh Indonesia; (2) melaksanakan Pancasila sebagai dasar pemerintahan Indonesia; dan (3) pelaksanaan secepat mungkin pasal 45 dari UUD Republik Indonesia Serikat ialah memberikan pemerintahan yang demokratis kepada rakyat.
Usai Sultan membacakan pernyataan politiknya, terdengar teriakan dari massa. Seorang aristokrat Kutai berdarah Arab bernama Sayid Gasim Barackbah menyuruh orang berteriak meminta Abdoel Moeis Hassan menyampaikan kata sambutan. Seruan massa yang meminta pidato Moeis Hassan itu menyebabkan pihak protokol tampak gugup. Petugas pengatur acara pemerintahan mengarahkan pandangannya kepada para pangeran dari Kesultanan Kutai yang hadir. Ternyata Sultan dan kerabatnya juga terperanjat mendengar teriakan tadi. Abdoel Moeis Hassan pun merasa kurang nyaman dengan keadaan tersebut.
Guna menetralisasi keadaan, seorang di antara pangeran itu, antara Aji Pangeran Sosronegoro atau Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, memberi isyarat dengan tangan mempersilakan Abdoel Moeis Hassan tampil. Abdoel Moeis Hassan kemudian segera berorasi. Substansi pidatonya ialah menekankan bahwa adanya pemerintahan swapraja (kesultanan) di zaman sekarang (kemerdekaan RI) sudah usang, dan rakyat akan sangat berterima kasih bila Sultan dan kaum bangsawan pada umumnya bisa menyesuaikan diri.
Peristiwa orasi Moeis Hassan di hadapan rakyat yang berkumpul di Lapangan Kinibalu ini tergolong monumental sekaligus tragedi. Hal ini karena tuntunan penghapusan pemerintahan kesultanan disampaikan secara terbuka serta langsung di hadapan Sultan A.M. Parikesit dan para royal family. Di sini kewibawaan dan hegemoni Sultan seolah sirna karena massa berani mendemo seorang pemilik ketopong, yakni mahkota emas sebuah imperium yang sudah berusia 6,5 abad.

Tentu saja Moeis Hassan berani melakukan itu karena ia memiliki kapasitas sebagai Ketua Front Nasional, yakni koalisi organisasi sosial dan politik di Kaltim yang pro-RI dan anti-Van Mook. Murid Abdoel Moethalib Sangadji itu juga pemimpin kaum Republikein dalam wadah partai politik lokal bernama Ikatan Nasional Indonesia (INI), yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Kaltim. Para pejuang baik di jalur diplomasi maupun jalur gerakan bersenjata, merupakan modal sumber daya manusia (human capital) yang menyokong Moeis Hassan.
Proklamasi Sultan Kutai yang berujung tragedi ini menjadi satu dari tahap delegitimasi swapraja/kesultanan yang diperjuangkan kaum Republikein. Masyarakat yang pro-RI sejak awal Proklamasi 1945—bukan kelompok yang baru pro-RI setelah Belanda ‘terkalahkan’ dalam KMB—selain menginginkan Kaltim berintegrasi ke RI, juga berkehendak agar sistem feodalisme dihapuskan dari Kaltim. Orasi Abdoel Moeis Hassan itu memulai kampanye terbuka gerakan penghapusan pemerintahan kesultanan di Kaltim.
Namun demikian, secara pribadi Moeis Hassan mengaku tidak memiliki masalah dengan pihak Kesultanan Kutai. Moeis Hassan (1994: 227) memberikan testimoni mengenai peristiwa itu sebagai berikut.
“Saya yang tadinya hanya hadir untuk mendengarkan isi pernyataan Sultan, terpaksa bangkit dari kursi dan mulai ber "aksi". Tapi saya cukup nuchter untuk tidak beragitasi tanpa arah. Saya hanya menekankan bahwa adanya pemerintahan swapraja di zaman sekarang sudah usang. Dan rakyat akan sangat berterima kasih bila Sultan dan kaum bangsawan pada umumnya bisa menyesuaikan diri.”
PENUTUP
Akhir tahun 1949 dan tahun 1950 menjadi tahun penuh dilematis bagi Kesultanan Kutai. Kementerian Penerangan RI (1953) mengungkapkan, rakyat yang pada umumnya amat fanatik terhadap Republik Indonesia, memandang Pemerintah Kalimantan Timur itu sebagai pemerintah boneka dari Belanda, “sehingga para Sultan di Kalimantan Timur itu menjadi turun harganya dalam pandangan mata rakyat.”
Setelah insiden di Samarinda 23 Januari 1950—ketika Abdoel Moeis Hassan dengan dukungan rakyat berorasi menuntut pembubaran swapraja di hadapan Sultan dan kerabatnya—muncul gerakan antiswapraja di berbagai daerah di Kalimantan Timur. Gerakan tersebut dilakukan secara terorganisasi dalam wadah Panitia Aksi Antiswapraja. Mereka menuntut penghapusan swaparaja karena semasa revolusi fisik, sikap pemerintah swapraja (kesultanan) dipandang tidak membantu perjuangan RI.
Tulisan ini tidak menguraikan peristiwa lanjutan sampai akhirnya tuntutan rakyat Kaltim terkabulkan. Proses dihapuskannya kekuasaan pemerintahan Sultan Kutai Kertanegara dengan turun tahtanya A.M. Parikesit pada 21 Januari 1960 dibahas dalam tulisan/buku tersendiri.
GLOSARIUM
agitasi pidato yang berapi-api untuk mempengaruhi massa
aristokrat kalangan bangsawan/ningrat
de facto menurut kenyatan yang sesungguhnya (tentang pengakuan atas suatu pemerintahan); menurut hakikatnya
de jure berdasarkan hukum (tentang pengakuan atas suatu pemerintahan)
fakta hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi
federasi gabungan beberapa negara bagian yang dikoordinasi oleh pemerintah pusat yang mengurus hal-hal mengenai kepentingan nasional seluruhnya (seperti keuangan, urusan luar negeri, dan pertahanan)
feodalisme sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja
fiksi cerita rekaan (roman, novel, dsb); khayalan; tidak berdasarkan kenyataan
hegemoni dominasi, kekuasaan, pengaruh kepemimpinan
heuristik pengumpulan sumber
historiografi penulisan sejarah
imperium kerajaan
integrasi pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh
interpretasi tafsiran; pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu
konvensional berdasarkan kebiasaan umum atau kelaziman
lokal ruang, tempat
memoar kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya
metode cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan
metodologi ilmu atau uraian tentang metode
monarki bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh raja
naratif bersifat narasi, menguraikan
nuchter sadar
propaganda penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu
rekonstruksi penyusunan kembali
republikein masyarakat pendukung Republik Indonesia
royal family keluarga kerajaan
sejarawan ahli sejarah; penulis sejarah
seremonial bersifat upacara atau seremoni
swapraja daerah yang berpemerintahan sendiri
verifikasi pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dan sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
Alie, Elham, dkk. 1981. Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan. Tenggarong: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai.
Amin, M. Asli, dkk. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur.
Arifin, Samsul & Suyatni Priasmoro. 2011. Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957–2011. Samarinda: Sekretariat DPRD Provinsi Kaltim.
Dachlan, Oemar. 2000. Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Hassan, A. Moeis. 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Kartodirdjo, Sartono. 2014a. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Diterbitkan pertama kali 1982, Gramedia.
Kementerian Penerangan. 1953. Republik Indonesia Propinsi Kalimantan. Jakarta: Kementerian Penerangan.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Diterbitkan pertama kali 1995.
Mees, Constantinus Alting. 1935. De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting. Santpoort: N.V. Uitgeverij.
Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (Ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942–1998), Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal: Konsep, Metode dan Tantangannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
_______. 2014. Sejarah Lisan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Diterjemahkan Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Sanusie, M. Djunaid, dkk. 1984. Secercah Perjuangan BPRI Bn. VIII Brig. “S” Div. VI (NAROTAMA) di Samarinda. Samarinda: Pemda Kalimantan Timur.
Tim Penyusun. 1982. Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga Sanga. Balikpapan: Yayasan 27 Januari.
Tim Penyusun. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1976/1977.
Tim Penyusun. 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.
Penulis: Muhammad Sarip
Artikel Lainnya:
Seminar dan Bedah Buku Moeis Hassan Pejuang Kaltim
Moeis Hassan Calon Pahlawan Nasional dari Kaltim
Tragedi 1950 di Lapangan Kinibalu
Sejarah Peringatan Hari Pahlawan Perdana di Samarinda
Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara
Pua Ado, Kepala Polisi Banjar, dan Pangeran Bendahara di Samarinda Tempo Dulu
Ini Sebabnya Kita Pakai Nama Kalimantan, Bukan Borneo
Menyingkap Fakta Makam Tua di Samarinda
Lihat semua artikel klik SejarahKaltim.com
Penulis: Muhammad Sarip
Artikel Lainnya:
Seminar dan Bedah Buku Moeis Hassan Pejuang Kaltim
Moeis Hassan Calon Pahlawan Nasional dari Kaltim
Tragedi 1950 di Lapangan Kinibalu
Sejarah Peringatan Hari Pahlawan Perdana di Samarinda
Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara
Pua Ado, Kepala Polisi Banjar, dan Pangeran Bendahara di Samarinda Tempo Dulu
Ini Sebabnya Kita Pakai Nama Kalimantan, Bukan Borneo
Menyingkap Fakta Makam Tua di Samarinda
Lihat semua artikel klik SejarahKaltim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar