Sebagian teman mengenal saya sebagai pecinta
tenun. Akibatnya, menurut mereka, rasanya ada yang kurang jika saya tak
menuliskan sedikit yang saya tahu tentang tenun asal Kaltim, Ulap Doyo, kain
adat yang berubah menjadi komoditas seni andalan Suku Benuaq. Satu-satunya kain
tradisional di muka bumi yang dibuat dari serat daun doyo.
Sayangnya, kain ini cukup mahal. Saya baru
punya sedikit. Satu lembarnya yang agak lebar saya beli Rp500 ribu. Referensi
saya juga terbatas. Selain itu, motifnya kini kian monoton. Sepertinya,
pengetahuan mengenai motif-motif lawas banyak yang tidak diteruskan/diturunkan
penenun muda. Motif yang paling banyak diproduksi dan paling sering terlihat di
kios-kios cendera mata, saat ini sering terbatas pada corak limar (perahu). Barangkali
tersebab dianggap lebih mudah diproduksi secara massal.
Pada 1988 saja Suku Benuaq sudah kehilangan
corak motif yang disebut ampus dan kain yang disebut bunut (sejenis
selimut).
Doyo atau Curculigo Latofolia,
sebenarnya tak hanya dikenal oleh Suku Benuaq. Orang Kenyah menyebutnya lemba
atau leba, sedangkan Suku Banjar menyebutnya nyenyiuran. Namun,
memang hanya Suku Benuaq yang memiliki keragaman dalam mengolahnya menjadi
tenun.
Tak semua tanaman doyo dapat diolah sebagai
tenun. Suku Benuaq membagi tanaman ini dalam beberapa jenis. Pertama, Doyo
Temoya, berdaun langsing, urat daun tidak terlalu keras, daun agak
melengkung sedang warna daunnya hijau muda. Tanaman ini digolongkan sebagai
doyo kelas satu dalam menghasilkan benang yang berkualitas baik (serat lembut
dan putihnya baik).
Doyo Pentih, hampir
serupa dengan Doyo Temoya, hanya berbeda dalam hal warna daun dan
tangkainya. Warna daun hijau muda kekuningan dan lebih tahan terhadap sinar
dari Doyo Temoya. Doyo Pentih ini mempunyai penilaian yang sama
dengan Doyo Temoya dalam hal seratnya, hanya saja hasil benang agak
kekuning-kuningan.
Doyo Biang, baik batang
tangkai daun maupun panjang dan lebar daun doyo yang tergolong doyo yang
melebihi ukuran kedua doyo sebelumnya. Ukuran maksimal daunnya dapat mencapai
panjang 150 cm dan lebarnya 25 cm panjang tangkai daun hingga 113 cm. Urat daun
lemah hingga ciri khas dari Doyo Biang ini yang mudah terlihat adalah daun
daunnya sering patah karena beratnya. Warna daun hijau Jingga hijau muda. Hasil
benang agak kemerah-merahan dan agak kasar. Karena banyak menghasilkan benang
doyo ini dimanfaatkan untuk benang lungsi yang akan dicelup dengan warna coklat
atau hitam.
Doyo Tulang, ukuran besar
daun tanaman Doyo Tulang terletak antara Doyo Biang dengan kedua
Doyo terdahulu. Lebih kecil dari Doyo Biang tapi lebih besar dari Doyo
Pentih. Ciri khas Gayo ini daun tegak sedikit agak melentur disebabkan
urat-uratnya lebih keras serta alur daun yang dalam dari kedua doyo terdahulu.
Doyo ini walaupun mempunyai serat akan tetapi tidak diambil karena dalam
pengeringan urat doyo ini terlalu keras hingga kadang-kadang dapat merusak
jari. Di samping itu juga karena lidinya agak keras serat doyo ini pecah-pecah
waktu dikerik/ tidak menghasilkan serat yang lebar.
Lingan, termasuk
juga jenis doyo tetapi suku Benuaq tidak mengakuinya sebagai daun doyo karena
daunnya tidak menghasilkan serat. Bagi orang awam tampaknya lingan ini seperti
doyo kecil, hanya dengan mata yang berpengalaman lingan dapat cepat dibedakan
dari doyo.
Bramang seperti
lingan tidak diakui sebagai doyo oleh suku Benuaq sebab tak menghasilkan serat
walaupun ia mirip dengan Doyo Biang.
Di zaman sekarang orang Benuaq juga terkadang
memadukan serat doyo dengan benang kapas. Selain punya ketahanan, warna benang
kapas lebih luwes, sehingga mengimbangi tenunan doyo yang kaku.
Sementara itu, pewarnaan biasanya menggunakan
bahan alami seperti merah dari biji buah glinggam, juga ada yang menggunakan
batu alam yang disebut batu ladu. Warna merah dari batu itu didapatkan dengan
cara menggosokkan batu tersebut ke dalam piring porselen, dicampur dengan
sedikit air untuk kemudian dioleskan pada bagian-bagian benang yang dalam
motifnya nanti harus berwarna merah. Menariknya, batu itu tak terdapat di
Tanjung Isuy, tapi di Bentian Besar di sekitar Sungai Lawa yang menunjukkan
interaksi dan pola distribusi masa lalu. Kadang mereka menggunakan pewarna
makanan/kue. Namun, karena bahan warna makanan, bukan pewarna tekstil, sering kali
daya tahannya terhadap cuci dan sinar sangat rendah. Di sisi lain, ini
menunjukkan kearifan budaya yang ramah lingkungan, utamanya penolakan mencemari
sungai.
Warna hitam diperoleh dari pembakaran damar
dengan menampung asapnya (jelaga) dan akan didapatkan arangnya untuk
selanjutnya dalam jumlah yang cukup banyak dipergunakan sebagai bahan warna.
Warna hijau dulu didapat dari daun putri malu dengan jalan memirik halus
daunnya dan direbus hingga agak pekat kemudian dioleskan. Saat ini penggunaan
daun tidak lagi atau jarang ditemukan, digantikan pewarna kue. Untuk warna
kuning dari umbi kunyit.
Proses pembuatan tenun dimulai dari pengambilan
serat dengan cara dikerik. Pengerikan dilakukan berendam dalam air mengalir,
sebab doyo yang terkena udara akan berubah warna menjadi coklat tua. Kemudian
dilanjutkan dengan pemintalan (ngelintar), lalu menyambung (ngukui),
mengikat/menenun.
Tenun ikat ulap doyo yang tidak bermotif
disebut Ulap Tungkar. Sementara dari referensi yang saya miliki, corak
ragam hias tenun doyo sebenarnya sangat kaya ragam, dapat dikumpulkan berdasar
bentuk motif ada 21 jenis (Naga, Rangkang, Limar, Kimas, Timang, Tangga Tukar
Toray, Tipak Mening Knowala, Pupu, Temang Nuat, Temang Sesat Lengkar, Tengkulun
Tongkau, Tipak Knowala, Tengkulut, Brabang, Upak Talang, Wahai Nunuk, Naga Wayang,
Ero Tengka Tukai, Tempaku, Tempaku Wala, Puncak Rebung); kemudian berdasar
penggayaan ada 9 jenis (Tena Grisi, Gramai, Lejaap, Wala Selekang, Wala Bakar,
Batik Sengkait, Anak Knowala, Teramonte, Knowala) dan menurut teknik motif ada lima
jenis (Ikat Sundu, Tehar Bintir, Ampus, Terap Dua, Tipak Mening).
Penulis: Chai Siswandi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar