Sabtu, 28 Juli 2018

Ulap Doyo, Wastra Unik Benuaq


Sebagian teman mengenal saya sebagai pecinta tenun. Akibatnya, menurut mereka, rasanya ada yang kurang jika saya tak menuliskan sedikit yang saya tahu tentang tenun asal Kaltim, Ulap Doyo, kain adat yang berubah menjadi komoditas seni andalan Suku Benuaq. Satu-satunya kain tradisional di muka bumi yang dibuat dari serat daun doyo.

Sayangnya, kain ini cukup mahal. Saya baru punya sedikit. Satu lembarnya yang agak lebar saya beli Rp500 ribu. Referensi saya juga terbatas. Selain itu, motifnya kini kian monoton. Sepertinya, pengetahuan mengenai motif-motif lawas banyak yang tidak diteruskan/diturunkan penenun muda. Motif yang paling banyak diproduksi dan paling sering terlihat di kios-kios cendera mata, saat ini sering terbatas pada corak limar (perahu). Barangkali tersebab dianggap lebih mudah diproduksi secara massal.


Pada 1988 saja Suku Benuaq sudah kehilangan corak motif yang disebut ampus dan kain yang disebut bunut (sejenis selimut).

Doyo atau Curculigo Latofolia, sebenarnya tak hanya dikenal oleh Suku Benuaq. Orang Kenyah menyebutnya lemba atau leba, sedangkan Suku Banjar menyebutnya nyenyiuran. Namun, memang hanya Suku Benuaq yang memiliki keragaman dalam mengolahnya menjadi tenun.

Tak semua tanaman doyo dapat diolah sebagai tenun. Suku Benuaq membagi tanaman ini dalam beberapa jenis. Pertama, Doyo Temoya, berdaun langsing, urat daun tidak terlalu keras, daun agak melengkung sedang warna daunnya hijau muda. Tanaman ini digolongkan sebagai doyo kelas satu dalam menghasilkan benang yang berkualitas baik (serat lembut dan putihnya baik).

Doyo Pentih, hampir serupa dengan Doyo Temoya, hanya berbeda dalam hal warna daun dan tangkainya. Warna daun hijau muda kekuningan dan lebih tahan terhadap sinar dari Doyo Temoya. Doyo Pentih ini mempunyai penilaian yang sama dengan Doyo Temoya dalam hal seratnya, hanya saja hasil benang agak kekuning-kuningan.

Doyo Biang, baik batang tangkai daun maupun panjang dan lebar daun doyo yang tergolong doyo yang melebihi ukuran kedua doyo sebelumnya. Ukuran maksimal daunnya dapat mencapai panjang 150 cm dan lebarnya 25 cm panjang tangkai daun hingga 113 cm. Urat daun lemah hingga ciri khas dari Doyo Biang ini yang mudah terlihat adalah daun daunnya sering patah karena beratnya. Warna daun hijau Jingga hijau muda. Hasil benang agak kemerah-merahan dan agak kasar. Karena banyak menghasilkan benang doyo ini dimanfaatkan untuk benang lungsi yang akan dicelup dengan warna coklat atau hitam.

Doyo Tulang, ukuran besar daun tanaman Doyo Tulang terletak antara Doyo Biang dengan kedua Doyo terdahulu. Lebih kecil dari Doyo Biang tapi lebih besar dari Doyo Pentih. Ciri khas Gayo ini daun tegak sedikit agak melentur disebabkan urat-uratnya lebih keras serta alur daun yang dalam dari kedua doyo terdahulu. Doyo ini walaupun mempunyai serat akan tetapi tidak diambil karena dalam pengeringan urat doyo ini terlalu keras hingga kadang-kadang dapat merusak jari. Di samping itu juga karena lidinya agak keras serat doyo ini pecah-pecah waktu dikerik/ tidak menghasilkan serat yang lebar.

Lingan, termasuk juga jenis doyo tetapi suku Benuaq tidak mengakuinya sebagai daun doyo karena daunnya tidak menghasilkan serat. Bagi orang awam tampaknya lingan ini seperti doyo kecil, hanya dengan mata yang berpengalaman lingan dapat cepat dibedakan dari doyo.

Bramang seperti lingan tidak diakui sebagai doyo oleh suku Benuaq sebab tak menghasilkan serat walaupun ia mirip dengan Doyo Biang.

Di zaman sekarang orang Benuaq juga terkadang memadukan serat doyo dengan benang kapas. Selain punya ketahanan, warna benang kapas lebih luwes, sehingga mengimbangi tenunan doyo yang kaku.

Sementara itu, pewarnaan biasanya menggunakan bahan alami seperti merah dari biji buah glinggam, juga ada yang menggunakan batu alam yang disebut batu ladu. Warna merah dari batu itu didapatkan dengan cara menggosokkan batu tersebut ke dalam piring porselen, dicampur dengan sedikit air untuk kemudian dioleskan pada bagian-bagian benang yang dalam motifnya nanti harus berwarna merah. Menariknya, batu itu tak terdapat di Tanjung Isuy, tapi di Bentian Besar di sekitar Sungai Lawa yang menunjukkan interaksi dan pola distribusi masa lalu. Kadang mereka menggunakan pewarna makanan/kue. Namun, karena bahan warna makanan, bukan pewarna tekstil, sering kali daya tahannya terhadap cuci dan sinar sangat rendah. Di sisi lain, ini menunjukkan kearifan budaya yang ramah lingkungan, utamanya penolakan mencemari sungai.

Warna hitam diperoleh dari pembakaran damar dengan menampung asapnya (jelaga) dan akan didapatkan arangnya untuk selanjutnya dalam jumlah yang cukup banyak dipergunakan sebagai bahan warna. Warna hijau dulu didapat dari daun putri malu dengan jalan memirik halus daunnya dan direbus hingga agak pekat kemudian dioleskan. Saat ini penggunaan daun tidak lagi atau jarang ditemukan, digantikan pewarna kue. Untuk warna kuning dari umbi kunyit.

Proses pembuatan tenun dimulai dari pengambilan serat dengan cara dikerik. Pengerikan dilakukan berendam dalam air mengalir, sebab doyo yang terkena udara akan berubah warna menjadi coklat tua. Kemudian dilanjutkan dengan pemintalan (ngelintar), lalu menyambung (ngukui), mengikat/menenun.

Tenun ikat ulap doyo yang tidak bermotif disebut Ulap Tungkar. Sementara dari referensi yang saya miliki, corak ragam hias tenun doyo sebenarnya sangat kaya ragam, dapat dikumpulkan berdasar bentuk motif ada 21 jenis (Naga, Rangkang, Limar, Kimas, Timang, Tangga Tukar Toray, Tipak Mening Knowala, Pupu, Temang Nuat, Temang Sesat Lengkar, Tengkulun Tongkau, Tipak Knowala, Tengkulut, Brabang, Upak Talang, Wahai Nunuk, Naga Wayang, Ero Tengka Tukai, Tempaku, Tempaku Wala, Puncak Rebung); kemudian berdasar penggayaan ada 9 jenis (Tena Grisi, Gramai, Lejaap, Wala Selekang, Wala Bakar, Batik Sengkait, Anak Knowala, Teramonte, Knowala) dan menurut teknik motif ada lima jenis (Ikat Sundu, Tehar Bintir, Ampus, Terap Dua, Tipak Mening).

Penulis: Chai Siswandi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar