Penulis: Muhammad Sarip
Jika disebutkan kata “Yunani”, dalam memori saya setidaknya ada tiga hal yang identik. Pertama, Yunani adalah negeri mitologi para dewa. Kedua, Yunani adalah negerinya filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Ketiga, Yunani adalah negara ajaib yang pernah meraih gelar juara sepak bola Eropa alias Euro 2004.
Berinteraksi dengan seorang native berkebangsaan Yunani adalah pengalaman unik bagi saya. Ermioni Vlachidou adalah satu dari mahasiswa Program Darmasiswa Republik Indonesia (DRI) kelas Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Bersama mahasiswa lain berbeda negara, dia ditempatkan di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
Ermi, nama sapaannya, pernah datang ke tempat kerja saya di Samarinda. Substansi pertanyaan yang diajukannya mengindikasikan dia seorang yang sangat berminat pada aspek historis dan sosio-kultural. Cara dia bertanya menunjukkan karakter yang kritis dan interogatif. Rasa penasarannya sangat kuat. Dan saya suka dengan sikap intelektual seperti itu. Terlebih lagi, dia mengusung prinsip equality (kesetaraan) dan personal freedom (kebebasan individu)—nilai yang sama-sama saya sepakati.
Satu dari pertanyaan Ermi adalah efek dari konflik rasial di Indonesia 1998. Apakah ada implikasinya di Kalimantan Timur saat momen sejarah Reformasi tersebut? Berhubung saya sudah menulis buku Samarinda Tempo Doeloe (terbit 2017) dan terdapat subbab khusus tentang peristiwa 1998 di Samarinda, pertanyaan Ermi bisa saya jawab berbasis data.
Saat studi di Indonesia, Ermi berstatus sebagai mahasiswa jurusan Jurnalistik dan Media di Aristotle University of Thessaloniki (AUTH), Yunani. Kemudian ia melanjutkan S-2 di kampus yang sama dan meraih gelar Master of Philosophy (MPhil) pada jurusan History (Research Methodology). Ermi berprofesi sebagai jurnalis dengan jabatan Social Media Manager and Graphics.
Selama kurang dari setahun tinggal di Indonesia, Ermi mempelajari sejumlah perilaku sosial masyarakat lokal. Dia mengalami culture shock, dari yang level ringan hingga problematik. Namun, dia cukup smart dalam beradaptasi dengan kerandoman komunal dan fasilitas unik di Negeri Khatulistiwa.
Dia tak suka buah-buahan tropis, kecuali pisang. Dia paling anti dengan durian dan nangka karena baunya yang menyengat. “Most people know durian as the smelly, disgusting one, but jack-fruit is equally as bad,” ujarnya tentang durian dan nangka yang banyak di Kaltim.
Ermi juga heran dengan cara pengolahan makanan orang-orang yang mayoritas dengan penggorengan menggunakan minyak sawit. Ada ayam goreng, nasi goreng, mi goreng, pisang goreng, dan aneka gorengan lainnya. Menurut gen Z yang relatif fast respond dalam chat ini, di Yunani sebagai negara Mediterania, warganya menggunakan minyak zaitun.
Apa boleh buat, Ermi harus beradaptasi dengan kebiasaan orang Indonesia karena dia tinggal di rumah seorang warga di Samarinda. Ermi mesti mencoba untuk memasak atau menggoreng makanan dengan minyak goreng yang biasa digunakan di rumah kebanyakan orang Indonesia. Namun, tiap kali mencobanya, dia seperti paranoid.
“So, when I am frying or cooking with palm oil, each time I die a little inside.”
Persoalan makanan masih bisa ditoleransi, karena menyangkut selera individu. Yang bikin Ermi lebih shock adalah persoalan sosial budaya. Sebagian orang yang dia temui, menganggap normal untuk percakapan menanyakan umur dan agama pada orang yang baru dikenal. Padahal, usia dan agama adalah urusan personal dan privat. Saya pun memegang prinsip yang sama, pertanyaan data privasi merupakan sesuatu yang tidak etis.
“So, based on my Greek and somewhat western ideas, Indonesia is not a country for the private souls.”
Ermi mengakui, dia adalah warlok (warga lokal) Yunani yang berpreferensi pemikiran barat. Menurutnya, Indonesia bukanlah tempat yang ideal bagi individu yang sangat menjaga privasi. Iya, memang betul. Di Indonesia, lazim terjadi doxing jika urusannya mengkritik kebijakan penguasa. Nomor telepon asing pun sering menghubungi individu dengan pengetahuan data privat oleh si penelepon untuk tujuan penipuan.
Gegar budaya berikutnya yang dirasakan Ermi adalah persepsi tentang kecantikan perempuan. Standar perempuan cantik versi Indonesia secara umumnya adalah yang berkulit putih. Makanya kosmetik yang paling marketable, satu di antaranya adalah produk pemutih kulit.
“There is also the colonizing past of the country, which had certainly left many underlying scars.”
Ermi mengetahui bahwa kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia berdampak pada penempatan pribumi Kepulauan Nusantara di strata sosial paling bawah. Orang-orang Eropa yang berkulit putih menempati hierarki sosial di puncak dan berstatus sebagai penguasa. Karena itu, sebagian besar orang Indonesia terobsesi dengan kulit putih sebagai simbol kesempurnaan fisik dan atribusi kekuasaan.
Ermi takjub dengan branding produk dan iklan di Indonesia dengan tagline seperti pure white atau white beauty. Dia bilang, “How can you name your product something implying white superiority, even when taking about a skin tone and not feel ashamed of yourself?”
Dalam opini Ermi, menamai produk dengan atribusi white beauty secara tersirat sama dengan mempromosikan superioritas kulit putih. Ada benarnya yang dikatakan Ermi. Dia tidak setuju dengan dikotomi warna kulit. Warna kulit alias ras itu adalah perkara natural, bawaan dari lahir. Warna kulit putih dan nonputih bukan opsional tiap individu. Tidak ada yang superior dan inferior dari perbedaan warna kulit.
“Indonesian people have their own looks, which are and should, be equally attractive.”
“Orang Indonesia memiliki kekhasan penampilan mereka sendiri, yang seharusnya sama-sama menarik dan dihargai,” tegas Ermi.
Ada banyak lagi kisah pengalaman Ermi selama di Indonesia. Sementara ini dulu yang bisa saya tulis dalam momen ulang tahun dia pada bulan Mei ini.
Saya meminta izin Ermi untuk mengutip beberapa kalimat dan pengalaman dia di Indonesia. Harapannya, selain sebagai flash back, juga sebagai wacana refleksi bagi publik di negara bekas Hindia Belanda.
Dia jawab, “Yeah of course go ahead with the article.”
Χρόνια πολλά, Ερμιόνη Βλαχίδου
***
Artikel ini terbit kali pertama di media siber Kaltimtoday.co pada link: kaltimtoday.co/ermioni-vlachidou-dari-yunani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar