Tanggal
24 Februari 2019, tepat 170 tahun silam naskah “Salasilah Raja dalam Negeri
Kutai Kertanegara” selesai ditulis. Manuskrip beraksara Jawi alias Arab-Melayu
ini digarap oleh juru tulis istana bernama Khatib Muhammad Tahir. Orang Banjar
ini menyelesaikan tulisannya pada 24 Februari 1849 atau 30 Rabiul
Awal 1265 H.
Naskah
yang populer disebut “Salasilah Kutai” ini di satu sisi merupakan pujasastra. Namun, ia juga mengandung kronologi peristiwa awal
berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara di Jaitan Layar (Kutai Lama) sampai masa
pemerintahan Sultan Aji Muhammad Salehuddin di Tenggarong pertengahan abad
ke-19. Sayangnya, naskah yang asli tersebut tak lagi ada di wilayah RI,
melainkan di Berlin-Jerman. Adapun naskah yang dimiliki Kesultanan Kutai pada
abad ke-20 adalah salinan versi Abdullah Demang Kedaton.
Kemudian, pada 1979 mantan Bupati Kutai Ahmad
Dahlan menggubah naskah Salasilah Kutai,
tidak sekadar ejaannya, tetapi juga gaya bahasanya dari Melayu kuno ke gramatikal bahasa Indonesia. Efek
positif dari gubahan pria yang bernama samaran D. Adham ini adalah kenyamanan bagi pembaca untuk
memahami isinya. Namun, buku Salasilah Kutai versi Ahmad Dahlan ini
memiliki kelemahan karena ia juga menyisipkan unsur data yang fiktif,
dramatisasi, dan cerita-cerita lain dari berbagai sumber.
Sebagai
penyegar pengetahuan kita tentang sejarah lokal di Benua Etam, penulis akan
berbagi beberapa hal yang sering menjadi pertanyaan dan ketidakpahaman sebagian
masyarakat mengenai Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura.
Pertama,
Mana yang benar, Kartanegara atau Kertanegara?
Transliterasi
ejaan Salasilah Kutai dari Arab-Melayu ke latin yang dilakukan
Constantinus Alting Mees pada tahun 1935 menuliskan “Kertanegara”, memakai
vokal /e/ pada huruf kedua. Ahli sejarah berkebangsaan Belanda itu
menyajikannya pada tahun 1935 dalam karya tulis disertasinya yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave
Met Toelichting.
Penulisan
“Kertanegara” juga dilakukan oleh Mohammad Asli Amin dalam skripsinya tahun
1968 yang berjudul “Pertumbuhan Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martapura”. Pria yang
kemudian pernah menjabat Rektor IKIP PGRI Samarinda dan Kepala Bappeda Kaltim
itu secara konsisten menuliskan “Kertanegara” tanpa satu kali pun terselip
aksara “Kartanegara”.
Tak cukup tulisan di
buku klasik, lambang Kesultanan yang diukir di bagian depan-atas keraton juga
jelas hurufnya adalah “Kertanegara”. Lebih pasti lagi, stempel kesultanan
hingga penghujung abad ke-20 pun memakai vokal /e/ setelah huruf /k/. Contoh
stempel ini bisa dilihat di salinan surat Sultan Aji Muhammad Salehuddin II
tertanggal 15 Oktober 1999 yang dilampirkan dalam buku biografi Sultan Aji
Muhammad Idris. Aksara yang tercetak pada stempel dengan huruf kapital semua
ialah “SULTAN KUTAI KERTANEGARA ING MARTAPURA”.
Lantas, mengapa sekarang
semua pihak termasuk media massa menuliskan “Kartanegara”? Hal ini tampaknya
dilatarbelakangi kemiripan dengan nama wilayah administratif bernama Kabupaten
Kutai Kartanegara yang berdiri pada 1999. Syaukani H.R. sebagai bupati pertama
dari kabupaten baru itu juga menulis buku yang berjudul Kerajaan Kutai
Kartanegara pada 2002. Kerancuan ini akhirnya menjadi kekeliruan kolektif
yang menghapus memori tulisan yang sebenarnya.
Perubahan
Kertanegara menjadi Kartanegara barangkali tidak terlalu ‘bermasalah’ karena
hanya mengubah vokal /e/ menjadi /a/ dan tidak mengubah makna. Hal ini seperti
perbedaan lafal yang maknanya tidak berubah pada kata: negara dan nagara, lekas dan lakas; beri dan bari; rendah dan randah.
Kedua,
Mana yang benar, Martadipura atau
Martapura?
Martapura adalah nama awalnya yang populer di bawah
tahun 1980-an. Perubahan Martadipura tak sekadar menambahkan suku kata di, melainkan juga mengakibatkan
kerancuan makna istilah. Nama Martadipura sebenarnya baru dikenal pada seperempat akhir abad
ke-20.
Ahmad Dahlan pada 1981 mengungkapkan, nama Martadipura berasal dari ide Drs. Anwar Soetoen, yang menuliskannya secara terpisah: Marta
di Pura. Dasar pemikirannya adalah perkataan ini terdiri atas dua kata, marta dan pura,
dengan disisipi kata depan di.
Menurut Soeton, kata depan di sama
arti dengan kata Jawa Kawi ing.
“Pendapat ini jelas dipaksakan dan tidak
tepat,” cetus Dwi Cahyono dan Gunadi, dua orang ahli arkeologi yang mengkaji
arkeologi Kutai Martapura. Kedua arkeolog ini mengkritik kekeliruan
tersebut dalam buku berjudul Kajian
Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura yang diterbitkan Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2007. Selain itu,
dalam Salasilah Kutai yang diteliti C.A. Mees (1935), terdapat nama ing Martapura sebagai pelengkap nama Pangeran Sinum Panji
Mendapa.
Kementerian Penerangan RI (1953) juga
menyebutkan kerajaan tertua yang berpusat di Muara Kaman dengan
nama Kutai Martapura. Apabila kata depan ing digunakan, sementara antara kata Marta dan Pura disisipi
kata depan di (bahasa Melayu)—yang serupa arti dengan ing—berarti terjadi pengulangan (reddened). Fakta lainnya, di Muara Kaman
terdapat kawasan purbakala yang bernama Gunung Martapura.
Permasalahannya kemudian, kata Martadipura—yang keliru ini—menjadi lebih populer dan
seolah dilegalkan oleh Pemerintah Daerah dengan pembangunan sebuah jembatan
modern di Kota Bangun yang
diberi nama Martadipura. Boleh jadi,
pembaruan nama Martadipura
dimaksudkan untuk membedakannya dengan nama kota dalam kawasan Banjar di
Kalimantan Selatan, Martapura.
Ketiga,
Apa Perbedaan Kerajaan Kutai di
Tenggarong dengan yang di Muara Kaman?
Kerajaan
yang beristana di Tenggarong bernama Kutai Kertanegara. Adapun kerajaan yang dulu pernah beribu kota
di Muara Kaman bernama Kutai Martapura. Keduanya memang sama-sama bernama depan Kutai. Namun,
keduanya berbeda dalam banyak hal. Pertama,
pusat/ibukota kerajaan Kutai Martapura statis di Muara Kaman, sedangkan Kutai
Kertanegara berpindah-pindah dari Jaitan Layar dan Tepian Batu di Kutai Lama, lalu ke Jembayan hingga Tenggarong. Kedua, waktu pendirian Kutai Martapura adalah tahun 400 (akhir abad ke-4 atau
menjelang abad ke-5 Masehi), sedangkan Kutai Kertanegara pada tahun 1300 (akhir abad ke-13 M).
Ketiga, tahun keruntuhan Kutai
Martapura adalah 1635 (abad ke-17 M), sedangkan Kutai Kertanegara pada tahun 1960 (abad ke-20 M). Keempat, pendiri dinasti Kutai Martapura adalah Aswawarman putra Kundungga, sedangkan Kutai Kertanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti. Kelima, raja terakhir Kutai Martapura adalah Maharaja Dermasatia, sedangkan Kutai Kertanegara adalah Sultan Aji Muhammad Parikesit. Keenam, agama Kutai Martapura adalah Hindu, sedangkan Kutai Kertanegara awalnya Hindu kemudian berganti Islam sejak abad ke-16 M.
Terakhir
(ketujuh), Kerajaan Kutai Kertanegara sudah dihidupkan kembali secara resmi
sebagai simbol budaya dalam konteks NKRI dengan penobatan sultan dari keturunan
yang jelas silsilahnya. Adapun Kerajaan Kutai Martapura yang sudah runtuh sejak
1635 tidak ada restorasi terhadapnya. Hingga saat ini tidak ada pernyataan
resmi dan valid dari pemerintah pusat maupun daerah yang melegitimasi Kerajaan
Kutai selain yang berpusat di Tenggarong.
Wilayah
Kesultanan Kutai yang beristana di Tenggarong sudah meliputi kawasan Muara
Kaman. Namanya pun dilengkapi dengan identifikasi wilayah Muara Kaman menjadi
Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura.
***
Memori
sejarah harus dijaga dari distorsi dan penyelewengan dengan cara menggiatkan aktivitas
literasi sejarah. Sejarah penting bagi keberlangsungan entitas masyarakat dan
melestarikan sisi kebaikan dari kearifan lokalnya.
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar