Selasa, 19 Februari 2019

Ketika Jukung Banjar Masuk Mahakam 5 Abad Silam



Lima abad yang lalu, jukung memasuki Sungai Mahakam. Perahu khas Kalimantan itu mengangkut para utusan Pangeran Samudra. Mereka datang dari Banjarmasin yang kala itu menjadi pangkalan militer kubu Pangeran Samudra alias Pangeran Suriansyah.  


Pada tahun 1525 itu Pangeran Banjar mengirim orang kepercayaannya ke Kerajaan Kutai Kertanegara yang masih beribu kota di Tepian Batu (Kutai Lama). Banjar meminta partisipasi Kutai dalam upaya Suriansyah memulihkan legitimasi takhta Kerajaan Banjar yang dikudeta oleh Pangeran Tumenggung. Raja Kutai kala itu, yakni Aji Raja Makota, menyanggupi permintaan Banjar. Riwayat ini diinterpretasikan dari manuskrip kuno “Hikayat Banjar” yang naskahnya disalin dari tradisi lisan masyarakat Banjar atas prakarsa Sir Stamford Rafles pada awal abad ke-19.

Keberhasilan pelayaran jukung dari Banjarmasin ke Kutai pada masa itu ditopang oleh pengetahuan orang Banjar mengenai teknologi alat transportasi air yang sudah berakar lama. Kondisi alam dan geografis di selatan Kalimantan yang banyak sungai membuat masyarakat Banjar purba berkebudayaan air. Mereka mendirikan permukiman dan menggantungkan penghidupannya pada dunia perairan. Karenanya, transportasi air pun menjadi pilihan realistis yang ditekuni.

Bagi orang Banjar, ber-jukung dari Banjarmasin ke Kutai sejauh lebih dari 500 mil pada masa itu adalah yang biasa. Ini karena nenek moyang Banjar dari unsur Maanyan sekitar tahun 650 atau 700 Masehi sudah melanglang buana melintasi samudra luas. Mereka ada yang sampai ke Pulau Madagaskar dekat Benua Afrika. Mereka kemudian menetap di sana dan menjadi nenek moyang orang Malagasi. Konklusi ini diungkap dari penelitian ahli bahasa (linguistik) pada 1990.

Berdasarkan realita ini, timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya teknologi jukung? Seorang Denmark bernama Erik Petersen meneliti jukung di Sungai Barito. Pensiunan arsitektur itu masuk ke pedalaman Kalimantan mengikuti proses pembuatan jukung dari kayu bulat hingga menjadi sarana transportasi air.

Pria kelahiran 1930 itu menerbitkan hasil risetnya berjudul Jukung Boats from the Barito Basin, Borneo. Pada tahun 2000 Erik mengangkut jukung ke negaranya untuk dipamerkan di Viking Ship Muesum, Roskilde Denmark. Ini adalah apresiasi luar biasa dari dunia internasional tentang keunggulan orang Banjar dalam membuat alat angkutan air.

Seiring perkembangan industri, teknologi jukung turut mengalami dinamika. Pada masa dikenalnya mesin dinamo, jukung sudah ada yang bermesin. Jukung sendiri beraneka ragam bentuk dan ukurannya, dari yang kecil sampai besar. Penamaan jukung pun berkembang, seperti adanya kelotok dan tambangan sebagai jukung jasa angkutan di sungai.

Penyebaran orang Banjar di tanah Kutai turut memopulerkan eksistensi jukung di Sungai Mahakam. Jukung pun berdampingan dengan gubang, yakni sampan buatan orang Kutai. Dari proses pembuatan jukung yang dalam bahasa Banjar diistilahkan “pengapihan” lahirlah nama Kampung Sungai Kapih di bagian selatan Samarinda. Penduduk di pesisir Mahakam dari Kutai Lama hingga Samarinda rata-rata memiliki jukung sebagai alat mobilisasi mereka. Sebagian masyarakat mempunyai jukung paiwakan sebagai sarana mata pencaharian nelayan.

Khusus di Samarinda, pada era kejayaan ekspor kayu gelondongan hingga industri kayu lapis (1960-an sampai 1990-an), tak hanya jukung pribadi yang berseliweran di Mahakam. Banyak juga jukung berjenis kelotok sebagai sarana transportasi umum, selain tambangan yang konvensional.

Menjelang akhir abad ke-20 kultur masyarakat Samarinda mulai berubah dari berperadaban air menjadi “orang darat”. Jukung, kelotok, tambangan mulai berkurang. Rumah-rumah penduduk tidak lagi menghadap ke sungai. Sungai tidak lagi penting sebagai jalur transportasi. Bahkan, sungai menjadi tempat pembuangan sampah terpanjang di Samarinda. Kejayaan era sungai dipandang hanya kenangan masa lalu.

Masyarakat darat yang melupakan keunggulan peradaban air dan abai terhadap penjagaan kualitas sungai, merasakan dampaknya. Kota Samarinda sering kali digenangi air dalam tempo berjam-jam jika hujan lebat.  Air yang hakikatnya sumber kehidupan manusia berubah jadi malapetaka.

Jukung adalah sejarah peradaban manusia yang menghormati keagungan perairan. Sejak ribuan tahun silam jukung berjaya di sungai dan lautan. Sudah ratusan tahun jukung mewarnai Mahakam terutama di wilayah Kutai, termasuk Samarinda. Walaupun kini jukung tergerus zaman, Mahakam harus tetap dimuliakan demi kontinuitas kehidupan.

Memuliakan Mahakam artinya memperbaiki kualitasnya, tak hanya sebagai jalur pariwisata, tapi juga mengembalikan filosofinya sebagai identitas dan sumber kehidupan makhluk Tuhan. Tak hanya manusia, makhluk Tuhan berwujud mamalia pesut mahakam pun berhak kembali hidup di Mahakam Samarinda—sesuatu hal yang menemui batasnya pada penghujung era 70-an.

Kita patut mengapresiasi adanya kelompok masyarakat pegiat lingkungan yang peduli pada perbaikan kualitas Sungai Karang Mumus. Kepedulian mereka tampak lebih berkualitas karena yang ditonjolkan ke publik adalah substansi kegiatannya, bukan sarana pembentukan citra diri personelnya. Mereka pun lebih pada tindakan yang berkesinambungan, tak sekadar seremoni pada masa-masa perhelatan elektoral politik.

Sesungguhnya sejarah lebih dari sekadar nostalgia masa lalu. Makna sejarah lebih dalam daripada konteks tontonan festival dan seremoni pendongkrak elektabilitas politik. Pengetahuan dan literasi sejarah berguna sebagai pembelajaran bagi generasi masa kini supaya dapat memperbaiki paradigma dan mempertahankan ekosistemnya.

Penulis: Muhammad Sarip


Tidak ada komentar:

Posting Komentar