Senin, 04 Februari 2019

Riwayat Tionghoa di Pusat Timur Kalimantan



Pecinan Samarinda 1930. Sumber: koleksi Lola Devung
Kejadiannya tujuh abad silam. Sebuah bukit di pesisir muara Sungai Mahakam dinamai Jaitan Layar. Asal usulnya adalah kegiatan rombongan saudagar dari Tiongkok yang menjahit layar kapal di bukit tersebut. Nama itu dicetuskan oleh sang pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara, yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti. Manuskrip “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara” beraksara Arab-Melayu yang selesai ditulis pada 1849 mewartawakan hal ini.


Riwayat penamaan Gunung Jaitan Layar menandai jejak etnis Tionghoa di sentral kawasan timur Pulau Kalimantan. Kemudian, hilir mudik para pedagang Tionghoa pada abad pertengahan banyak meninggalkan jejak artefak seperti pecahan guci dan keramik yang sebagiannya kini dikoleksi Museum Mulawarman Tenggarong.

Kiprah, relasi, dan interaksi orang-orang Tionghoa di Kalimantan Timur mengalami dinamika yang pasang-surut. Kolonialisme Hindia Belanda di Kerajaan Kutai Kertanegara sejak pertengahan abad ke-19 membawa implikasi yang kurang positif bagi hubungan Tionghoa dengan penduduk lokal (pribumi).

Taktik devide et impera (pecah dan kuasai) diterapkan dengan menempatkan warga Tionghoa sebagai kelas masyarakat khusus yang dibedakan dengan pribumi. Belanda mengatur orang-orang Tionghoa untuk mendirikan permukiman di Samarinda yang menjadi kota bandar Kerajaan Kutai. Kawasan permukiman Tionghoa yang disebut Pecinan itu berlokasi di tepian Mahakam dari arah timur muara Sungai Karang Mumus ke arah barat Samarinda. Jarak dari pesisir ke daratan sekitar 500 meter.

Posisi Pecinan sangat strategis dan menguntungkan secara ekonomi. Hal ini karena pada era maritim itu Pecinan terletak di pusat perdagangan. Samarinda abad ke-19 merupakan titik pertemuan para pedagang dari arah hulu Mahakam dan dari luar timur Kalimantan. Maka, tingkat perekonomian masyarakat Tionghoa relatif berada pada derajat kemapanan. Keunggulan itu juga diperoleh berkat karakteristik mereka sebagai perantauan yang ulet dan pekerja keras.

Pada permulaan abad ke-20 kesuksesan finansial koloni Tionghoa dan diskriminasi sosial-ekonomi yang dilakukan Pemerintah Belanda di Samarinda menimbulkan problematik. Kesenjangan dan kecemburuan dirasakan masyarakat lokal yang bermukim di sebelah barat Pecinan. Sejarah kemudian mencatat solidaritas pedagang lokal yang didominasi warga Banjar melahirkan sebuah kongsi dagang di kawasan Pasar Pagi yang bernama Handel-maatschaappij Borneo. Nama persekutuan dagang ini selanjutnya pupuler dengan singkatan HBS. Lokasinya pun dikenal sebagai Kampung HBS. Pertalian warga Kampung HBS dengan organisasi Sarekat Islam menghasilkan kompetisi yang sehat dengan warga Tionghoa. Gap horizontal yang terjadi antara pribumi dan Tionghoa tidak sampai menjadi konflik berujung huru-hara (chaos).

Selanjutnya, situasi Asia Tenggara dan Hindia Belanda pada 1941 yang diliputi Perang Pasifik mengakibatkan goyahnya tatanan politik warisan Belanda. Hadirnya Jepang menggantikan Belanda di Samarinda sejak 3 Februari 1942 mengubah konstelasi. Tiga setengah tahun usai bercokolnya Jepang, Belanda kembali mencoba mengembalikan otoritasnya. Namun, upaya Belanda ini mendapat reaksi pertentangan, tak hanya dari masyarakat pribumi, tapi juga dari sebagian orang Tionghoa.

Beberapa dari warga Tionghoa ada yang turut berkontribusi bagi kelaskaran Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Samarinda. Go Sek Lim dan Go Sian Kwan merupakan dua di antara orang Tionghoa itu. Bahkan, keduanya mendapat sertifikat pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Samarinda berdasarkan testimoni dari Abdoel Moeis Hassan (pemimpin Republiken Kaltim, calon Pahlawan Nasional). Ini merupakan anomali yang membuyarkan stigma (label negatif) terhadap Tionghoa yang seakan-akan prokolonialis secara general dan mutlak.

Konstelasi pribumi dan Tionghoa kembali memanas usai tragedi Gerakan 30 September 1965. PKI divonis sebagai pelaku G30S yang disokong Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (Cina). Hal ini berimbas pada etnis Tionghoa di Indonesia secara general. Rezim Orde Baru memarjinalkan etnis Tionghoa dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 melarang segala hal yang bercorak Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek tidak boleh di ruang publik. Negara juga tidak mengakui agama Kong Hu Cu. Dikotomi pribumi dan nonpribumi alias WNI keturunan sangat terasa dalam masyarakat. Orang-orang Tionghoa pun dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan mengganti namanya dari yang khas Tiongkok dengan nama yang beraroma Indonesia atau non-Tiongkok. Meskipun begitu, sebagian mereka tetap sukses secara ekonomi.

Relasi Tionghoa dan pribumi mencapai titik nadir pada 1998. Kerusuhan besar dan serentak disertai penjarahan pusat perbelanjaan terjadi di banyak kota. Isu genosida dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pun merebak. Tragedi kelam itu akhirnya menjadi awal pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk berbenah dan menjalin harmonisasi antara sesama warga negara.

Regulasi lama yang mendiskriminasi Tionghoa dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999. Kong Hu Cu diresmikan sebagai satu di antara agama resmi dalam NKRI. Ritual Imlek di muka umum diperbolehkan. Bahkan kemudian Imlek menjadi sebuah hari libur nasional. Kesenian barongsai juga diterima publik sebagai bagian dari seni-budaya warga, tak terbatas pada lingkungan Tionghoa. Penyebutan “Cina” yang sarkastis pun oleh Presiden SBY diganti dengan istilah Tiongkok untuk wilayah geografis dan istilah Tionghoa untuk etnik.

Di ibu kota Kalimantan Timur, beberapa orang Tionghoa pun mulai eksis di bidang selain perdagangan. Ada yang aktif dalam pengembangan seni-budaya. Ada yang berkecimpung dalam bidang  sosial dan penanggulangan bencana. Ada pula yang berkiprah sebagai akademisi kampus dengan kualitas menonjol.

Dengan prestasi, pengabdian, dan kontribusi bagi kemajuan masyarakat umum, etnis Tionghoa bisa mengeliminasi stigma masa silam. Kesetaraan derajat antaretnik alias egalitarianisme pun dapat terwujud. Bhinneka Tunggal Ika menjadi lebih dari sekadar semboyan pemanis retorik berbasis toleransi. Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang bersinergi mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Gong Xi Fa Cai.

Penulis: Muhammad Sarip

(Tulisan ini dimuat di SKH Kaltim Post edisi Selasa, 5 Februari 2019)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar