Pecinan Samarinda 1930. Sumber: koleksi Lola Devung |
Kejadiannya tujuh abad silam. Sebuah bukit di pesisir muara Sungai
Mahakam dinamai Jaitan Layar. Asal usulnya adalah kegiatan rombongan saudagar
dari Tiongkok yang menjahit layar kapal di bukit tersebut. Nama itu dicetuskan
oleh sang pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara, yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Manuskrip “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara” beraksara Arab-Melayu
yang selesai ditulis pada 1849 mewartawakan hal ini.
Riwayat penamaan Gunung Jaitan Layar menandai jejak etnis Tionghoa
di sentral kawasan timur Pulau Kalimantan. Kemudian, hilir mudik para pedagang
Tionghoa pada abad pertengahan banyak meninggalkan jejak artefak seperti
pecahan guci dan keramik yang sebagiannya kini dikoleksi Museum Mulawarman
Tenggarong.
Kiprah, relasi, dan interaksi orang-orang Tionghoa di Kalimantan
Timur mengalami dinamika yang pasang-surut. Kolonialisme Hindia Belanda di
Kerajaan Kutai Kertanegara sejak pertengahan abad ke-19 membawa implikasi yang
kurang positif bagi hubungan Tionghoa dengan penduduk lokal (pribumi).
Taktik devide et impera (pecah
dan kuasai) diterapkan dengan menempatkan warga Tionghoa sebagai kelas
masyarakat khusus yang dibedakan dengan pribumi. Belanda mengatur orang-orang
Tionghoa untuk mendirikan permukiman di Samarinda yang menjadi kota bandar
Kerajaan Kutai. Kawasan permukiman Tionghoa yang disebut Pecinan itu berlokasi
di tepian Mahakam dari arah timur muara Sungai Karang Mumus ke arah barat
Samarinda. Jarak dari pesisir ke daratan sekitar 500 meter.
Posisi Pecinan sangat strategis dan menguntungkan secara ekonomi.
Hal ini karena pada era maritim itu Pecinan terletak di pusat perdagangan.
Samarinda abad ke-19 merupakan titik pertemuan para pedagang dari arah hulu
Mahakam dan dari luar timur Kalimantan. Maka, tingkat perekonomian masyarakat
Tionghoa relatif berada pada derajat kemapanan. Keunggulan itu juga diperoleh
berkat karakteristik mereka sebagai perantauan yang ulet dan pekerja keras.
Pada permulaan abad ke-20 kesuksesan finansial koloni Tionghoa dan
diskriminasi sosial-ekonomi yang dilakukan Pemerintah Belanda di Samarinda
menimbulkan problematik. Kesenjangan dan kecemburuan dirasakan masyarakat lokal
yang bermukim di sebelah barat Pecinan. Sejarah kemudian mencatat solidaritas
pedagang lokal yang didominasi warga Banjar melahirkan sebuah kongsi dagang di
kawasan Pasar Pagi yang bernama Handel-maatschaappij
Borneo. Nama persekutuan dagang ini selanjutnya
pupuler dengan singkatan HBS. Lokasinya pun dikenal sebagai Kampung HBS. Pertalian warga Kampung HBS dengan organisasi Sarekat Islam
menghasilkan kompetisi yang sehat dengan warga Tionghoa. Gap horizontal yang
terjadi antara pribumi dan Tionghoa tidak sampai menjadi konflik berujung
huru-hara (chaos).
Selanjutnya, situasi Asia Tenggara dan Hindia Belanda pada 1941
yang diliputi Perang Pasifik mengakibatkan goyahnya tatanan politik warisan
Belanda. Hadirnya Jepang menggantikan Belanda di Samarinda sejak 3 Februari
1942 mengubah konstelasi. Tiga setengah tahun usai bercokolnya Jepang, Belanda
kembali mencoba mengembalikan otoritasnya. Namun, upaya Belanda ini mendapat
reaksi pertentangan, tak hanya dari masyarakat pribumi, tapi juga dari sebagian
orang Tionghoa.
Beberapa dari warga Tionghoa ada yang turut berkontribusi bagi
kelaskaran Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Samarinda. Go Sek
Lim dan Go Sian Kwan merupakan dua di antara orang Tionghoa itu. Bahkan,
keduanya mendapat sertifikat pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia oleh
Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Samarinda berdasarkan testimoni
dari Abdoel Moeis Hassan (pemimpin Republiken Kaltim, calon Pahlawan Nasional).
Ini merupakan anomali yang membuyarkan stigma (label negatif) terhadap Tionghoa
yang seakan-akan prokolonialis secara general dan mutlak.
Konstelasi pribumi dan Tionghoa kembali memanas usai tragedi
Gerakan 30 September 1965. PKI divonis sebagai pelaku G30S yang disokong
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (Cina). Hal ini berimbas pada etnis
Tionghoa di Indonesia secara general. Rezim Orde Baru memarjinalkan etnis
Tionghoa dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 14 Tahun 1967 melarang segala hal yang bercorak Tionghoa. Perayaan Tahun
Baru Imlek tidak boleh di ruang publik. Negara juga tidak mengakui agama Kong
Hu Cu. Dikotomi pribumi dan nonpribumi alias WNI keturunan sangat terasa dalam
masyarakat. Orang-orang Tionghoa pun dengan pertimbangan keamanan dan
kenyamanan mengganti namanya dari yang khas Tiongkok dengan nama yang beraroma
Indonesia atau non-Tiongkok. Meskipun begitu, sebagian mereka tetap sukses
secara ekonomi.
Relasi Tionghoa dan pribumi mencapai titik nadir pada 1998. Kerusuhan
besar dan serentak disertai penjarahan pusat perbelanjaan terjadi di banyak
kota. Isu genosida dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pun merebak.
Tragedi kelam itu akhirnya menjadi awal pembelajaran bagi bangsa Indonesia
untuk berbenah dan menjalin harmonisasi antara sesama warga negara.
Regulasi lama yang mendiskriminasi Tionghoa dicabut oleh Presiden
Abdurrahman Wahid pada 1999. Kong Hu Cu diresmikan sebagai satu di antara agama
resmi dalam NKRI. Ritual Imlek di muka umum diperbolehkan. Bahkan kemudian
Imlek menjadi sebuah hari libur nasional. Kesenian barongsai juga diterima
publik sebagai bagian dari seni-budaya warga, tak terbatas pada lingkungan
Tionghoa. Penyebutan “Cina” yang sarkastis pun oleh Presiden SBY diganti dengan
istilah Tiongkok untuk wilayah geografis dan istilah Tionghoa untuk etnik.
Di ibu kota Kalimantan Timur, beberapa orang Tionghoa pun mulai
eksis di bidang selain perdagangan. Ada yang aktif dalam pengembangan
seni-budaya. Ada yang berkecimpung dalam bidang
sosial dan penanggulangan bencana. Ada pula yang berkiprah sebagai
akademisi kampus dengan kualitas menonjol.
Dengan prestasi, pengabdian, dan kontribusi bagi kemajuan
masyarakat umum, etnis Tionghoa bisa mengeliminasi stigma masa silam. Kesetaraan
derajat antaretnik alias egalitarianisme pun dapat terwujud. Bhinneka Tunggal
Ika menjadi lebih dari sekadar semboyan pemanis retorik berbasis toleransi.
Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang bersinergi
mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Gong Xi Fa Cai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar