Rabu, 15 April 2020

Menyingkap Asal Usul Martapura dan Martadipura di Kerajaan Kutai Kertanegara


Yang tersohor bukan berarti benar. Yang kurang dikenal belum tentu salah. Kebenaran tidak diukur dari popularitas dan suara terbanyak. Kebenaran ditimbang dengan fakta dan kaidah ilmiah.

Kata Martadipura telanjur terkenal. Ada nama Jembatan Martadipura di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ada tambahan ing Martadipura di akhir nama Kesultanan Kutai Kertanegara yang dihidupkan kembali sejak 2001

Bagaimana dengan Martapura? Apa bedanya dengan Martadipura? Apakah Martapura hanya sebuah nama kota di Kalimantan Selatan? 

Begini duduk perkaranya.

Kerajaan Kutai yang disebut sebagai kerajaan tertua di Nusantara itu nama sebenarnya adalah Martapura, bukan Martadipura, dan tanpa embel-embel Kutai. Hal ini karena nama Kutai baru muncul pada abad ke-13 Masehi yang dicetuskan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, sang pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara. 


Martapura dan Kutai Kertanegara adalah dua imperium yang berbeda. Martapura berkedudukan di hulu Sungai Mahakam yakni di Muara Kaman. Pendirinya adalah Aswawarman putra Kundungga. Adapun ibu kota Kutai Kertanegara lebih dekat ke muara Mahakam, berpindah-pindah dari Jaitan Layar, Tepian Batu, Jembayan, hingga Tenggarong.

Rincian perbedaan antara kedua kerajaan di timur Kalimantan itu tersaji dalam infografis berikut ini.

Kerajaan Martapura yang berdiri pada kisaran tahun 400 Masehi itu akhirnya runtuh pada 1635 akibat diagresi oleh pasukan Kutai Kertanegara yang dipimpin Pangeran Sinum Panji Mendapa. Kutai Kertanegara pun menambahkan nama kerajaannya dengan Martapura sehingga menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Informasi nama Martapura ini terdapat dalam kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Kitab yang selesai ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir tahun 1849 ini menyebutkan nama ing Martapura sebagai pelengkap nama raja Kutai Kertanegara yang menaklukkan penguasa takhta terakhir di Muara Kaman. 

Perhatikan teks kitab yang sering diringkas namanya sebagai Salasilah Kutai di bawah ini. Fokus pada tiga frasa tulisan Arab Melayu yang bertinta merah. Dalam hal ini, warna merah memang berasal dari penulis kitab, bukan editan gambar.
Halaman kitab Salasilah Kutai yang memuat kata Martapura.
Fotografi Muhammad Sarip
Pada bagian akhir frasa berwarna merah terdapat susunan huruf alif, ng, mim, ra, ta, fa, waw, ra. Tidak ada huruf dal di antara huruf ta dan fa. Dengan demikian, susunan ini dieja dengan ing Martapura, bukan ing Martadipura.

Lantas, dari mana asal usul nama Martadipura?
Sampul dan keterangan buku fiksi Runtuhnya Martadipura karangan Johansyah Balham.
Sumber: https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=918081 
Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada era 1980-an. Bupati Kutai periode 1965–1979, Ahmad Dahlan, mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar Soetoen, seorang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai. Soetoen berpikiran bahwa antara kata marta dan pura perlu disisipkan kata depan di sebagai pengganti ing. Menurutnya, kata depan di sama arti dengan kata Jawa Kawi ing. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981 (halaman 13–14).

Pemikiran ini tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama yang sudah jelas tertulis dalam kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Perubahan Martapura menjadi Martadipura tidak sekadar menambahkan suku kata di, tapi juga mengakibatkan kerancuan makna istilah.

“Pendapat ini jelas dipaksakan dan tidak tepat,” kata Dwi Cahyono dan Gunadi (2007: 37), dua orang ahli arkeologi yang mengkaji arkeologi Kutai Martapura. Apabila kata depan ing digunakan, sementara antara kata Marta dan Pura disisipi kata depan di (bahasa Melayu)—yang serupa arti dengan ing—berarti terjadi pengulangan (reddened).

Fakta lain, di Muara Kaman terdapat kawasan purbakala yang bernama Gunung Martapura. Begitu pula stempel Sultan Kutai yang pernah terpublikasi pada tahun 1999 tetap menggunakan nama Martapura sebagai tambahan, bukan Martadipura seperti yang diinginkan Soetoen.  

Stempel Sultan Kutai Kertanegara ing Martapura yang tertera pada surat tertanggal 15 Oktober 1999.
Fotografi Muhammad Sarip. 
Nama Martapura digunakan oleh para peneliti dan ilmuwan sejak dulu. Contohnya, Mohammad Asli Amin menyusun skripsi pada 1968 dengan judul "Pertumbuhan Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura". 


Halaman judul skripsi Mohammad Asli Amin tahun 1668.
Sumber: Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, 1975.
Begitu pula Ita Syamtasiyah Ahyat, sejarawan Universitas Indonesia. Ia menerbitkan buku yang berjudul Kesultanan Kutai 18251910 Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda. Di dalamnya, pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI ini menuliskan nama Martapura, bukan Martadipura. 


Awal Bab 2 buku Ita Syamtasiyah Ahyat mengungkap makna kata Martapura.
Sumber: Kesultanan Kutai 1825-1910, 2013.  
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan nama Martadipura untuk menyebut kerajaan yang puncak kejayaannya pada masa Maharaja Mulawarman ini. Yang benar Martapura, bukan Martadipura.

Disebutkan bahwa kata marta berarti permata atau intan, sedangkan pura berarti kota atau istana. Namun, penetapan makna kata ini perlu verifikasi lebih lanjut. Ada yang beralasan, perubahan kata permata menjadi marta terlalu jauh perbedaannya. Yang lebih dekat, marta berasal dari akar kata amarta atau amerta, yang dalam bahasa Sanskerta berarti kehidupan. Jadi, Martapura berarti kota kehidupan.

Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke-18 berubah menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara. Penandanya ialah gelar raja berubah menjadi sultan, dimulai Sultan Aji Muhammad Idris. Pada 1960 pemerintahan kesultanan ini berakhir secara politik berdasarkan regulasi Pemerintah Republik Indonesia yang menerbitkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan.

Pada 2001 Kesultanan Kutai dihidupkan kembali sebagai pelestarian warisan budaya dan sejarah. Namun, kesultanan versi baru ini tidak mempunyai wewenang politik seperti zaman kerajaan tempo dulu. Namanya pun berubah menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. 
Nama Kartanegara juga menjadi tambahan nama Kabupaten Kutai pemekaran tahun 1999 sehingga secara tidak langsung membedakan identitasnya dengan nama Kertanegara sebagai kerajaan terdahulu.

Perubahan ejaan Kertanegara menjadi Kartanegara, yakni huruf e diganti a ini memang tidak mengubah makna. Tetap saja berasal dari bahasa Sanskerta, kata krta yang berarti membuat peraturan dan nagara yang berarti negara.  


Lambang Kesultanan Kutai Kertanegara di tembok depan bagian atas istana lama di Tenggarong yang kini dijadikan museum.
Fotografi Muhammad Sarip, 2013.
Terhadap dua jenis nama kesultanan tersebut, bisa dikompromikan solusinya. Apabila menyebut nama kesultanan yang eksis sebelum 1960, maka kita mengejanya dengan "Kutai Kertanegara ing Martapura". Sedangkan jika menyebut nama kesultanan yang baru dihidupkan kembali per 2001, maka kita mengejanya dengan "Kutai Kartanegara ing Martadipura".

Perbedaan ejaan ini juga menjaga memori kolektif (ingatan bersama) dan pengetahuan publik mengenai sejarah serta fungsi dua kesultanan tersebut. Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura pra-1960 adalah bentuk pemerintahan yang berkuasa secara politik di tanah Kutai. Sedangkan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura pasca-2001 adalah bentuk simbol pelestari kebudayaan di dalam lingkup Negara Republik Indonesia, yang tidak lagi memiliki otoritas politik.

Setelah persoalan diksi Martapura dan Martadipura selesai, muncul pertanyaan berikutnya. Adakah kaitan antara Martapura di timur Kalimantan dengan Martapura di selatan Kalimantan? Apakah keduanya berhubungan atau hanya kesamaan yang tidak disengaja?

Jawaban atas pertanyaan ini masih misteri. Ada yang coba berasumsi seperti yang dilakukan tim penulis buku Sejarah Daerah Kalimantan Timur tahun 1977. Sambas Wirakusumah dkk menulis, setelah Muara Kaman jatuh ke tangan Kutai Kertanegara, ada seorang bekas menteri Kerajaan Martapura yang menyingkir ke Banjarmasin. Namanya Nanang Baya. 

Dalam kaitan ini, Kesultanan Banjar sejak 1526 beribu kota di Banjarmasin. Kemudian, pada 1652 Banjar memindahkan pusat pemerintahannya di lokasi yang dinamakan Martapura. Pembuatan Keraton Martapura di Banjar ini berjarak sekitar 17 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Martapura di Muara Kaman. Apakah penamaan Martapura untuk istana Banjar ini ada korelasi dengan Nanang Baya?

Saya memeriksa kitab Salasilah Kutai. Nama yang tepat bukan Nanang Baya, melainkan Narang Baya. Dikisahkan bahwa usai kematian Maharaja Dermasatia, Narang Baya pergi ke Kotabangun. Tidak ada penyebutan ia mengungsi ke Banjarmasin. 

Namun, soal keterkaitan antara Kutai dengan Banjar ada dinarasikan dalam kejadian lain. Raja Makota adalah kakek dari Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura. Lalu, ada seorang cicit atau keturunan dari Raja Makota yang bernama Aji Bangbang. Aji Bangbang ini terhitung keponakan atau cucu dari Pangeran Sinum Panji Mendapa. Salasilah Kutai menceritakan bahwa Aji Bangbang beristri ke Banjar. Pasangan ini memperoleh keturunan yang dinamai Pangeran Purbaya. Jadi, apakah ada kemungkinan nama Martapura dibawa dari Kutai? Perlu penelitian lebih lanjut.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar