"Dasar lonte Solong!"
Itulah satu di antara kalimat umpatan era 1980-an hingga dekade 1990-an yang populer di Samarinda. Kala itu, sebagian penduduk Samarinda lebih mengenal "Solong" sebagai satu di antara pusat lokalisasi para "lonte".
Kata "lonte" sendiri dalam khazanah bahasa Indonesia mengalami peyorasi sehingga berulang kali diperhalus menjadi wanita penghibur, Wanita Tunasusila (WTS), terakhir diganti Pekerja Seks Komersial (PSK). Namun, hakikatnya sama-sama pelacur.
Saking terasosiasinya "Solong” dengan PSK, kata ini menjadi materi “bully” atau ejekan di kalangan anak-anak usia pelajar, padahal banyak dari mereka tidak tahu di mana sebenarnya lokasinya. Tempatnya memang terpencil, masuk melalui Jalan Gerilya hingga tembus ke Mugirejo.
Dulu, anak-anak lelaki memperolokkan seorang anak perempuan yang
berdandan menor atau berpenampilan 'berani lebih terbuka'—menurut subyektivitas mereka—dengan umpatan seperti tadi, "Dasar anak Solong!"
Kampung Solong sejatinya hanyalah nama kawasan di Samarinda. Predikat negatif tersebut mestinya bisa tereliminasi dengan mengekspos sesuatu yang positif yang ada di tempat yang termasuk Kelurahan Mugirejo ini.
Apa hal positif dari Solong?
Solong tercatat dalam sejarah perjuangan rakyat Samarinda melawan penjajah Belanda. Hari ini, 7 Januari 2016, tepat 69 tahun silam terjadi peristiwa pertempuran bersenjata antara gerilyawan BPRI melawan tentara dan polisi Belanda. DI sini dibangun sebuah tugu palagan guna mengenang sejarah fersebut, yang peresmiannya pada 10 November 1991.
Solong adalah tempat mundurnya pejuang setelah kemarinnya (6 Januari 1947) bertempur di Kampung Sambutan. Pergerakan pejuang yang menyingkir ke Solong rupanya terendus oleh mata-mata Belanda, yang justru dari bangsa Indonesia sendiri.
Pada tanggal 7 Januari 1947 M. Djunaid Sanusie, Ali Badrun Noor, dan Imberan menemui Herman Runturambi di Solong. Herman adalah mantan tentara NICA dari Balikpapan yang bergabung dengan BPRI Samarinda. Tiba-tiba datang H. Djamharie, seorang pedagang ikan di Pasar Pagi memberitahukan ada militer dan polisi Belanda sedang bergerak menuju Solong.
Pukul 15.30 pasukan Belanda menyerang pejuang di Solong dari dua jurusan. Dengan pertimbangan jumlah pasukan dan persenjataan Belanda yang lebih unggul pada pertempuran ke-2 ini, para pimpinan pejuang memutuskan menyingkir dengan melintasi pematang sawah lalu menyeberangi sungai dengan perahu yang semula dibalik oleh pemiliknya karena ditembaki Belanda.
Setibanya di seberang sungai, perahu dihanyutkan. Di luar dugaan, polisi Belanda sedang berjaga dalam jarak hanya beberapa meter. Para pejuang berdiam diri menunggu polisi tersebut pergi.
Beruntung, persembunyian mereka tidak diketahui pasukan polisi itu yang lantas meninggalkan tempat tersebut. Pukul 17.30 di tengah gerimis para pejuang menumpangi perahu menuju Lempake.
Dari peristiwa ini, para pejuang menyusun strategi lagi untuk merencanakan penyerangan ke pusat pemukiman Belanda di tepian Samarinda beberapa hari kemudian.
Lanjutan kisahnya bisa dibaca di buku Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200-1999.
Penulis: Muhammad Sarip
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar