Selasa, 03 April 2018

60 Tahun Tragedi Kebakaran Dahsyat di Samarinda 4 April 1958

Pada tahun 1958 Samarinda baru setahun menyandang status ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Memasuki bulan keempat pada tahun itu juga, seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk Kaltim dan Samarinda, sudah tiga belas bulan lamanya merasakan SOB. SOB singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg, yakni keadaan darurat perang alias “negara dalam keadaan bahaya”. SOB diberlakukan Presiden Sukarno sehubungan dengan pemberontakan militer di Sumatra dan Permesta di Sulawesi.

Pada hari keempat di bulan April, suatu tragedi memilukan terjadi di Samarinda yang saat itu masih berstatus kotapraja. Musibah kebakaran menimpa permukiman penduduk di sepanjang pesisir Sungai Mahakam. Api yang berkobar membumihanguskan banyak bangunan dari pinggiran Sungai Karang Mumus hingga mencapai kawasan sekitar Masjid Jami’ (sekarang Masjid Raya Darussalam).
Dikabarkan bahwa tragedi yang mencekam itu terus berkelanjutan sampai durasi sepekan dikarenakan masih terbatasnya peralatan pemadam kebakaran. Menurut penilaian Abdoel Moeis Hassan (1994: 174), kebakaran tersebut tergolong besar, sebanding dengan kebakaran pada Juni 1945 akibat dibombardir pesawat tempur sekutu. Pejuang Republikein kelahiran 1924 itu menyebut, kebakaran ini termasuk satu dari tiga kebakaran besar yang pernah terjadi di Samarinda. Dilihat dari luasnya areal yang terbakar, musibah ini memang terbilang parah.
Tradisi lisan yang populer menyebutkan bahwa kala itu ada seseorang yang terpanggang dalam drum besi dengan banyak arloji atau jam tangan yang melingkar di tangannya. Diduga, ia mengambil arloji tersebut dari toko arloji yang terbakar, lantas bersembunyi dalam drum berisi air dengan harapan dapat selamat dari panasnya api. Ternyata, kobaran api lebih dahsyat daripada yang disangkanya sehingga ia menemui ajal dalam drum.
Di kemudian hari, di pusat lokasi bekas musibah itu berdiri Taman Hiburan Gelora (THG), pusat perdagangan dan hiburan warga Samarinda. Usai kekumuhan dan penyakit sosial di THG, sejak 1987 Citra Niaga hadir menggantikannya sebagai primadona perbelanjaan dan hiburan warga, sebelum pamornya meredup menjelang kemunculan mal-mal modern di Kota Tepian.
Pelajaran yang lazim diambil dalam mengenang tragedi kebakaran ialah sikap selalu waspada dan mencegah potensi munculnya api berbahaya. Keteledoran instalasi listrik, kecerobohan mengondisikan alat penerangan tradisional atau kealpaan mematikan kompor, merupakan beberapa penyebab kebakaran yang harus dieliminasi.
Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar