Senin, 23 Maret 2020

Pandemi Influenza di Kaltim Seabad Silam


Masyarakat di pasar Samarinda 1920. Sumber: KITLV
Satu abad yang lalu, tepatnya tahun 1918, wabah influenza menyebar ke seluruh dunia. Bermula bulan Januari, ribuan tentara Prancis menemui ajalnya di parit-parit pertahanan. Mereka mati bukan karena tembakan bedil dan serangan bom. Tetapi, penyakit flu ganas yang telah menewaskan mereka.

Sakit ingusan yang mengerikan itu dikenal dengan nama “Flu Spanyol”. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, dalam beberapa bulan saja, sekitar setengah miliar orang di seluruh dunia ambruk akibat virus itu. Yang mati berjumlah sekitar 50 juta sampai 100 juta jiwa. Jumlah kematian akibat pandemi ini bahkan lebih banyak daripada korban Perang Dunia Pertama dari tahun 1914–1918 sebanyak 40 juta orang.

Pertukaran manusia, amunisi, bahan makanan, logistik antarnegara dan lintas benua pada dekade kedua abad ke-20 itu menyebabkan penulara virus ke seluruh muka bumi. Tak terkecuali di wilayah Nusantara kala itu yang dikuasai Pemerintah Hindia Belanda.

Tim Departemen Sejarah Universitas Indonesia pada 2009 memublikasikan penelitian tentang sejarah pandemi infulenza di Indonesia 1918. Terdapat data arsip kolonial mengenai wabah flu yang menginfeksi penduduk dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Maluku. Namun, sangat minim informasi mengenai kejadian di Kalimantan.

Khusus di Kalimantan Timur, kurangnya fasilitas kesehatan dibanding Jawa menyebabkan pencatatan pasien kurang memadai. Kasus wabah flu di Kaltim ini juga seperti lenyap dari memori kolektif atau ingatan bersama masyarakat. Sulit menemukan catatan sejarah lokal perihal wabah ini.

Namun, masih ada orang yang mendokumentasikan pandemi influenza di Kalimantan. Adalah Johan Eisenberger, peneliti Belanda yang pernah mencatatnya. Ia menulis buku yang berjudul Kroniek van Zuider en Oosterafdeeling van Borneo atau “Catatan Peristiwa di Wilayah Selatan dan Timur  Borneo”. Buku ini diterbitkan di Banjarmasin tahun 1936.

Pada halaman 99 Eisenberger mengungkapkan, tahun 1918 hampir seluruh wilayah  terjangkit penularan wabah kolera dan Spaansche Griep. Jumlah penderita mencapai 90% dari populasi penduduk. Eisenberger tidak menyebut lokasinya secara spesifik. Tapi, mengingat spasial buku yang ditulisnya melingkupi Borneo Selatan dan Timur, maka wilayah wabah yang dimaksud adalah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Sejarawan Banjar, Amir Hasan Kyai Bondan, kemudian menyadur catatan Eisenberger itu dalam bukunya yang berjudul Suluh Sedjarah Kalimantan. Dalam buku yang diterbitkan pada 1953 ini, Amir Hasan menerjemahkan Spaansche Griep bukan sebagai flu Spanyol, melainkan demam panas. Pada halaman 75 Amir Hasan secara gamblang menyebut wilayahnya adalah hampir seluruh Kalimantan.

Penyebaran wabah terjadi melalui jalur transportasi perkapalan. Banjarmasin merupakan pusat Residen Borneo Selatan dan Timur. Adapun Samarinda merupakan kedudukan pemerintahan Asisten Residen Borneo Timur. Kedua kota ini mempunyai pelabuhan yang strategis.

Pelabuhan Banjarmasin dan Samarinda merupakan bandar perdagangan yang dilalui kapal antarpulau dan lintas negara. Khusus Samarinda, perusahaan pelayaran Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) mulai beroperasi sejak 1876. Pelabuhan Samarinda juga berfungsi sebagai bandar dagang Kesultanan Kutai Kertanegara

Penularan penyakit flu Spanyol terjadi karena interaksi antara pekerja kapal dengan pekerja pelabuhan, hingga menyebar ke penduduk lokal. Di dalam otoritas Hindia Belanda sendiri terjadi polemik soal cara mengatasi wabah. Usul karantina oleh institusi kesehatan terhadap perkapalan ditentang keras para pengusaha. Dampak ekonomi menjadi alasan usahawan.

Sakit flu disertai demam yang mengganas pada masa itu oleh penduduk tradisional dianggap sebagai akibat perbuatan ilmu supranatural seperti teluh, santet, guna-guna, dan sejenisnya. Ada pula yang berpikiran bahwa wabah tersebut sebagai akibat melanggar pantangan adat terhadap lokasi atau tempat yang dikeramatkan. Tapi, ada juga yang menganggapnya sebagai penyakit lumrah.

Rakyat jelata tidak sanggup berobat ke dokter yang tarifnya tidak terjangkau. Khusus penduduk di Kalimantan, cara berobat lazimnya dengan kepercayaan religius terhadap air dalam bejana yang dibacakan doa-doa. Pembaca doa dari kalangan pemuka agama atau tokoh yang dituakan dalam masyarakat setempat. Air tersebut diminum oleh pasien dan sebagiannya dipercikkan ke sekeliling rumah untuk menangkal balabencana. Memang tidak ada jaminan efektivitas cara ini. Bagi mereka, ini ikhtiar daripada pasrah menunggu nasib.

Wabah flu Spanyol di Nusantara berlangsung sampai tahun 1919 hingga mereda dengan sendirinya. Tentu saja, berakhirnya wabah setelah banyaknya korban berjatuhan. Kemudian, imunitas penduduk muncul secara alami. Influenza 1918 bermutasi menjadi penyakit-penyakit lain.

Namun, waktu menunggu berhentinya wabah tersebut bukanlah durasi yang sebentar dengan dampak puluhan juta jiwa tewas dan sepertiga populasi di dunia menderita hidung meler, susah bernapas, tubuh kedinginan, lemas, dan rasa sakit lainnya.

Sudah 102 tahun berlalu, kini dunia dilanda wabah serupa. Corona nama penyakitnya. Pandemi Covid-19 ini juga menyasar Indonesia, tak terkecuali Kalimantan Timur. Sejarah memberikan pelajaran kepada umat manusia.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar