Senin, 28 November 2022

Museum Eks Istana Sultan Kutai Bukan Hadiah Belanda

© Muhammad Sarip

Sejarawan Publik Kaltim

Sebuah bangunan museum nan megah hadir di Kota Tenggarong sejak tahun 1971. Lima tahun kemudian museum itu bernama lengkap Museum Negeri Mulawarman. Museum itu tampak mencolok sendirian karena Tenggarong hanyalah kota kecil di pinggir Sungai Mahakam. Kok bisa begitu?

Jadi begini riwayatnya.

Ibu kota Kesultanan Kutai Kertanegara mulai berkedudukan di Tenggarong sejak 28 September 1782. Istana Sultan Kutai yang kali pertama dibangun di kota ini, sudah musnah pada April 1844. Penyebabnya karena dibakar oleh pasukan Hindia Belanda yang sengaja dikirim untuk menghukum Kutai. Kutai era Sultan Aji Muhammad Salehuddin dianggap melakukan pelanggaran di wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda ketika pada Februari 1844 Kutai menenggelamkan kapal Inggris dan menjarah kapal dagang Belgia di Sungai Mahakam.

Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850–1899), istana dibangun kembali di Tenggarong. Sebagaimana periode sebelumnya, istana berkonstruksi dari kayu.

Foto istana Sultan berikut ini merupakan dokumentasi tahun 1900. Arsitekturnya dari luar tampak seperti rumah tradisional bangsawan Melayu pada umumnya. Sumber foto: gahetna.nl.

 

Kemudian pada foto tahun 1932, arsitektur istana kayu tersebut mengalami perubahan. Pada bagian depan atas dipasang lambang Kesultanan Kutai. Berikut ini dokumentasinya yang bersumber dari KITLV.

 


Memasuki pertengahan dekade ke-4 abad ke-20, bangunan istana Kutai sudah terlalu tua. Kondisinya mulai rapuh. Sultan Aji Mohammad Parikesit merasa perlu membangun istana yang baru.

Relasi Kutai dan Belanda saat itu telah stabil dalam kemitraan bidang politik dan ekonomi. Hubungan baik ini terjalin sejak era Sultan Sulaiman hingga Sultan Alimuddin dan dilanjutkan Sultan Aji Mohammad Parikesit dengan sejumlah perjanjian dan kontrak.

Foto berikut ini adalah sosok bernama Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer.


Tjarda adalah orang yang ditunjuk oleh Ratu Wilhelmina sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 4 Juni 1936. Bangsawan Belanda ini kemudian resmi berkuasa di Hindia Belanda pada 16 September 1936. Arsitek alias perancang bangunannya adalah Henri Istourgie, arsitek yang berdomisili di Surabaya.

 

Dua bulan kemudian Tjarca tiba di Tenggarong. Pada 16 November 1936 atas nama Ratu Wilhelmina, ia meletakkan batu pertama pembangunan istana Kutai. Proyek infrastruktur istana Kutai dikerjakan oleh sebuah perusahaan Belanda yang bernama Hollandsche Beton Maatschppij NV.

 

Arsitektur istana beton Kutai tergolong mewah dan megah pada zaman itu. Arsitekturnya bergaya Eropa yang setara dengan istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang kemudian pada era Republik Indonesia menjadi Istana Merdeka. Ini dokumentasi fotonya tahun 1900-an.

 


Sultan Kutai mampu membiayai sendiri pembangunan istana tersebut. Sultan mempunyai pendapatan dari royalti atau bagi hasil aktivitas penambangan batu bara dan minyak bumi oleh perusahaan Belanda di wilayah Kutai.

 

Foto ini dijepret pada awal selesainya pembangunan istana Kutai. Posisi pengambilan foto dari kapal di Sungai Mahakam. Tampak istana terletak di daratan yang tak jauh dari dermaga.

 



 

Selain menjadi kediaman Sultan, istana beton juga berfungsi sebagai tempat kegiatan birokrasi kesultanan, menerima tamu kehormatan, dan pementasan kesenian tradisi.

 

Pada 21 Januari 1960 sistem pemerintahan Daerah Istimewa Kutai resmi dihapuskan oleh pemerintah RI. Sultan Parikesit menjadi rakyat biasa. Namun, Sultan tetap mendiami istananya.

Petaka datang pada Agustus 1964. Revolusi Indonesia yang dipropagandakan Presiden Sukarno melahirkan jargon-jargon ofensif seperti Dwi Komando Rakyat (Dwikora), Anti-Nekolim, Ganyang Malaysia. Pemerintah pusat mengangkat Penguasa Perang Daerah di Kaltim merangkap Panglima Daerah Militer IX Mulawarman. Brigjen Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik menjabat Pangdam IX Mulawarman selama enam tahun sejak 1959 hingga Februari 1965.

Sikap Soehario yang sangat antifeodalisme diimplementasikannya dalam tindakan represif terhadap Sultan Parikesit dan kerabatnya. Tahun 1964 Sultan dan para bangsawan Kutai ditangkap lalu dipenjarakan di Balikpapan. Istana Kutai hendak dibakar. Namun, rencana pembakaran gagal terlaksana karena Gubernur Kaltim yang menjabat sejak 1962, yakni Abdoel Moeis Hassan, mencegahnya dengan mengirim polisi Banjar ke Tenggarong.

Pada 21 Mei 1965, Pangdam pengganti Soehario, yakni Brigjen Sumitro, mengomandoi aksi pembakaran baju kebesaran, mantel, storong, payung, dan atribut Sultan Kutai lainnya. Pembakaran di Lapangan Kinibalu Samarinda itu disaksikan massa yang sengaja dihadirkan dengan dalih “Rapat Raksana”. Wartawan Antara memotret dan mencatat peristiwa tragis itu dengan pernyataan Pangdam Sumitro yang intinya mengganyang feodalisme.

Presiden Sukarno kemudian kehilangan kekuasaannya secara de facto usai kegagalan Gerakan 30 September 1965. Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, mengambil kendali kuasa pemerintahan negara sejak ia menerima Surat Perintah 11 Maret 1966. Setahun kemudian Soeharto menjadi Penjabat Presiden.

Pada 1967 Sultan Parikesit ‘terpaksa’ menyerahkan lima benda pusaka kepada pemerintah Orde Baru. Kelima pusaka itu adalah ketopong, keris burit kang, kalung uncal, kalung siwa, dan tali juwita. Kini, semuanya menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Ironisnya, ketika Kesultanan Kutai dihidupkan kembali sebagai pemangku adat nonpolitik, Sultan Kutai dalam kedudukan sebagai pihak peminjam. Itu pun hanya boleh dipinjam sebentar, sekadar memenuhi ritual penabalan sultan.

Demikian pula istana Kutai terpaksa dijual kepada pemerintah Orde Baru seharga Rp64 juta. Sultan Parikesit dan kerabatnya berpindah kediaman ke sebuah bangunan kayu yang dinamai Rumah Besar di Tenggarong. Proses perubahan fungsi istana menjadi museum memerlukan peran seorang Pangdam IX Mulawarman kala itu, yakni Brigadir Jenderal Soekertiyo. Petinggi militer di zaman Orde Baru ini menandatangani prasasti peresmian Museum Kutai tertanggal 25 November 1971.

Semula, museum tingkat kabupaten ini dijadikan satu bagian dari kawasan pariwisata bertajuk Taman Pusat Kebudayaan dan Olahraga (Puskora). Selanjutnya, pada 18 Februari 1976 museum yang semula dikelola Pemda Kutai ini, pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan perubahan status menjadi Museum Umum Negeri Provinsi. Namanya diganti menjadi Museum Negeri Provinsi Kalimantan Timur “Mulawarman”. Penyerahan museum diterima oleh Direktur Jenderal Kebudayaan atas nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof. Dr. Ida Bagus Mantra.

 

Barang-barang dan benda-benda yang dipamerkan di Museum Mulawarman, selain peninggalan Kesultanan Kutai Kertanegara, juga bersumber dari peninggalan Kesultanan yang ada di Kaltim yakni Kesultanan Pasir, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Bulungan. Ditambahkan pula benda-benda purbakala dan bersejarah dari Gua Kombeng di Muara Wahau. Selain itu, terdapat replika prasasti Yupa, batu bertulis yang menjadi sumber sejarah Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman. Pada perkembangan berikutnya, halaman museum yang semula kosong dibangun taman, patung lembuswana, diorama perahu naga, dan ornamen lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar