Tana Paser, SejarahKaltim.com
Raja terakhir Kesultanan Paser, yakni Sultan Ibrahim Chaliluddin, akan diusulkan sebagai Calon Pahlawan Nasional. Pemerintah Kabupaten Paser melaksanakan seminarnya di Kantor Bupati Paser, Senin (25/11/2024) dengan menghadirkan narasumber dari ahli waris, yakni Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliluddin, dan sejarawan publik Muhammad Sarip.
Adjie Benni yang juga Ketua Yayasan Sultan Ibrahim Chaliluddin mempresentasikan riwayat hidup dan perjuangan kakek buyutnya. Dipaparkan juga penderitaan Sultan setelah tertangkap Belanda dan menjalani hukuman buang ke Cianjur (Jawa Barat).
Pada giliran kedua, Muhammad Sarip menyampaikan bahwa Paser sebagai komunitas suku dan monarki tradisional mempunyai relasi sejarah dengan Kutai dan Banjar.
“Pada tahun 1475 Pangeran Tumenggung Bayabaya yang ibunya dari Paser, diangkat sebagai Raja Kutai Kertanegara. Sekitar tahun 1516 Kerajaan Sadurengas berdiri di Paser dengan kontribusi aristokrat dari Kerajaan Kuripan alias Banjar-Hindu di Amuntai. Kemudian pada 1705 Kerajaan Sadurengas bertransformasi menjadi Kerajaan Paser Belengkong, awal penggunaan gelar sultan," papar sejarawan asal Samarinda tersebut.
Sarip yang bersama Nanda Puspita Sheilla menulis buku Historipedia Kalimantan Timur dan sama-sama terlibat dalam kegiatan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2DG) Kaltim 2024 itu menegaskan, sumber sejarah perlawanan Sultan Ibrahim terhadap kolonial Belanda sangat valid.
“Sumber sejarahnya bukan dari intern keluarga atau sekadar tutur lisan. Ada sumber Belanda berupa buku dan surat kabar sezaman yang mencatat pemberontakan Sarekat Islam di Paser pada 1915–1916. Diungkap bahwa dalang dari perlawanan itu adalah Sultan Ibrahim Chaliluddin dan kerabatnya," ujar Sarip.
Belanda dapat menangkap Sultan Ibrahim pada Februari 1916 dan membawanya ke Banjarmasin untuk diadili. Pada 1918 Pemerintah Hindia Belanda memvonis bersalah Sultan Ibrahim Chaliluddin dan menjatuhkan hukuman pengasingan seumur hidup.
Sultan Ibrahim dihukum buang ke Cianjur, di lokasi yang sama dengan pengasingan Pangeran Hidayatullah dari Kesultanan Banjar. Setelah menjalani 12 tahun pengasingan, Sultan Ibrahim wafat pada 19 Oktober 1930. Sultan Ibrahim dimakamkan di sebelah makam Pangeran Hidayatullah.
“Informasi bahwa Sultan Ibrahim Chaliluddin merupakan tokoh pemberontak bersumber dari pihak lawan, yakni Belanda, bukan semata-mata klaim dari sumber lokal. Dalam konteks ini, pengakuan dari lawan lebih valid dan kredibel sebagai sumber sejarah kepahlawanan figur lokal,” kata Sarip dalam seminar yang dibuka oleh Staf Ahli Bupati Paser Bidang Kesejahteraan Rakyat, Afrah Nahetha.
Sarip yang juga merupakan anggota TP2GD Kabupaten Paser berdasarkan SK Bupati Paser nomor 100.3.3.2/KEP-787/2024 itu menjelaskan, Pemerintah RI sangat mudah untuk menobatkan tokoh lokal sebagai Pahlawan Nasional, jika toko tersebut diberi label pemberontak oleh penjajah. Contohnya Pangeran Antasari yang dalam dokumen dan arsip Belanda disebut sebagai berandal alias pemberontak.
Sarip juga mengemukakan, pada 1999 Presiden BJ Habibie menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Sultan Ibrahim Khaliluddin. Tanda kehormatan ini menjadi modal penting untuk pengajuan kembali usulan gelar Pahlawan Nasional karena maknanya sudah ada pengakuan negara terhadap perjuangan sang tokoh.
Di penghujung seminar, moderator dari Sekretaris Dinsos Paser, Nila Kandi hendak meminta TP2GD menyepakati bahwa dokumen usulan gelar Pahlawan Nasional dinyatakan lengkap.
Namun, Sarip mengoreksi bahwa ada dua kelengkapan yang belum terpenuhi menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional. Pertama, belum ada seminar nasional untuk usulan ini. Kedua, belum ada fasilitas publik skala besar atau bangunan monumental yang dinamai Sultan Ibrahim Chaliluddin.
“Sekadar nama jalan itu terlalu kecil untuk apresiasi seorang tokoh pejuang bangsa. Satwa dan benda mati pun banyak yang dijadikan nama jalan," ujar Sarip.
Dalam seminar di Ruang Rapat Sadurengas itu, Sarip memberikan contoh. Untuk kelengkapan syarat usulan gelar Pahlawan Nasional Sultan Aji Muhammad Idris, pemerintah pusat berinisiatif mengganti nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda.
Kemudian untuk usulan gelar Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan yang telah diserahkan oleh Dinsos Kaltim kepada Kementerian Sosial di Jakarta pada Februari 2024, sudah ada SK Wali Kota Samarinda tahun 2020 yang mengabadikan nama Abdoel Moeis Hassan sebagai nama Jembatan Mahulu di Samarinda.
Merespons koreksi Sarip, Kepala Dinsos Paser Hasanuddin menjanjikan penyelenggaraan seminar nasional pada awal 2025. Adapun tentang penamaan bangunan monumental, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Paser Yusuf Sumako mengusulkan nama stadion di Paser. Sementara Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliluddin sebagai cicit dari Sultan Ibrahim sekaligus Ketua Yayasan Sultan Ibrahim Chaliluddin melontarkan ide penamaan bandara di Ibu Kota Nusantara.
“Penamaan bangunan ini domainnya Pemkab Paser. Yang penting segera dengan SK Kepala Daerah untuk kelengkapan syarat administrasi usulan gelar Pahlawan Nasional,” pungkas Sarip.
Setelah semua persyaratan dokumen lengkap, TP2GD bisa bersidang untuk memverifikasinya. Berikutnya, TP2GD dapat merekomendasikan kepada Bupati Paser untuk melanjutkan proses usulan gelar Pahlawan Nasional kepada Pemerintah Provinsi Kaltim hingga ke Kemensos RI. (AR)
![]() |
Seminar Usulan Calon Pahlawan Nasional Sultan Ibrahim Chaliluddin di Kantor Bupati Paser, 25 November 2024 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar