Selain buku De Kroniek van Koetai karya Constantinus Alting Mees (1935), buku Hikayat Banjar merupakan referensi utama dalam rekonstruksi sejarah awal peradaban lokal Samarinda.
Buku hasil penelitian Johannes Jacobus Ras sejak tahun 1960 terhadap manuskrip legendaris berupa naskah-naskah kuno beraksara Arab-Melayu tentang sejarah Kerajaan Banjarmasin dan Kotawaringin ini diterbitkan oleh Universitas Leiden Belanda pada tahun 1968.
Adapun buku yang saya miliki merupakan versi terjemahannya dalam bahasa Melayu, yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia tahun 1990. Penerjemahnya adalah Siti Hawa Saleh, yang walaupun dalam bahasa Melayu-Malaysia, cukup bisa dipahami karena mirip dengan sastra lama Indonesia.
Sekurang-kurangnya ada 3 hal penting yang dapat saya petik dari buku setebal 496 halaman ini, antara lain:
- Riwayat berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama; eksistensi 6 kampung di wilayah Samarinda; masuknya Islam ke Kutai; hingga unifikasi/penyatuan Kutai kartanegara dan Kutai Martadipura (di Muara Kaman); yang tertuang dalam naskah "Salasilah Kutai" pada tahun 1849 dengan aksara Arab-Melayu, ternyata penulisnya adalah seorang Banjar yang bekerja sebagai juru tulis di Kerajaan Kutai (hlm. 88).
- Pegawai linguistik Belanda, W. Kern, menyatakan, dalam abad ke-20 kebanyakan hasil penulisan kesusastraan yang tinggi mutunya dan penulisan keagamaan di Kutai, di pantai timur Kalimantan, masih dalam bahasa Banjar. J.J.Ras berpendapat, Kalimantan Tenggara (Kalsel) bukan saja sebagai satu pusat politik, tetapi juga sebagai satu pusat kebudayaan untuk suatu jangka masa yang panjang pada zaman silam (hlm. 178). Dengan ini dapat dimaklumi ketika Oemar Dachlan dalam sebuah artikel di Harian Berita Buana edisi 25 juni 1987, menyebutkan tentang keberadaan etnis Banjar di Samarinda sebagai penduduk asli, bukan kaum pendatang.
- Kerajaan Kutai, yang wilayahnya juga meliputi Samarinda, adalah daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar, ketika masih bernama Kerajaan Negara Dipa pada era Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Majapahit (hlm. 323). Dengan latar belakang ini, rasional jika etnis Banjar tidak meminta izin kepada Raja Kutai untuk bermukim di Samarinda, sebelum kedatangan rombongan Daeng Mangkona dan Bugis Wajo di Samarinda Seberang.
Merujuk tiga hal di atas, ditambah beragam pustaka lainnya serta analisis dan interpretasi historisitas, tersusunlah buku yang sudah diterbitkan sejak 27 November 2015, berjudul "Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda".
Penulis: Muhammad Sarip
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar