Kamis, 21 Januari 2016

Kontroversi 21 Januari 1668 dan Kultur Banjar di Samarinda

Hari ini, 21 Januari 2016, Pemerintah Kota Samarinda, instansi dan lembaga lokal, serta sekolah-sekolah memperingati hari jadi dalam seremonial upacara. Hari jadi yang dirayakan ada dua jenis: hari jadi Pemkot Samarinda ke-56 dan hari jadi Kota Samarinda ke-348.
Penetapan hari jadi Pemerintah Daerah tanggal 21 Januari 1960 mempunyai landasan historis dan autentik, karena pada tanggal tersebut terjadi upacara serah-terima wilayah oleh Kepala Daerah Istimewa (DI) Kutai kepada Walikota Samarinda, Kapten Soedjono. Sebelumnya, terjadi pemecahan wilayah DI Kutai menjadi 3 daerah tingkat (Dati) II, yaitu Dati II Kutai, Kotapraja Samarinda, dan Kotapraja Balikpapan.
Sampai tahun 1988, Pemerintah Daerah Kotamadya Samarinda hanya memperingati tanggal 21 Januari sebagai HUT Pemda. Kemudian, Sejak 1989 Pemda memperingati 21 Januari juga sebagai HUT kota berdasarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1988.
Mengapa bisa HUT pemerintah dan HUT kota bertepatan tanggalnya? Apakah tanggal 21 Januari 1668 yang diklaim sebagai hari kedatangan rombongan Bugis Wajo adalah benar autentik, mempunyai bukti akurat?
Ternyata, tanggal tersebut hanya prediksi. Tim penulis buku sejarah kota Samarinda terbitan Pemkot 2004 mengakui, tanggal 21 Januari 1668 diestimasi dengan penambahan 64 hari sejak tanggal terjadinya Perjanjian Bongaya, 18 November 1667.
Pemilihan awal kedatangan Bugis Wajo dari latar belakang ketidakpuasan atas Perjanjian Bongaya ini pun hanya satu versi dari beberapa versi lainnya mengenai kapan dan mengapa La Mohang Daeng Mangkona bisa sampai ke Samarinda Seberang. Ahli sejarah dari Belanda, Constantinus Alting Mees bahkan menyebutkan, yang meminta izin kepada Raja Kutai untuk bermukim di Samarinda saat itu adalah Anakoda Tujing.
Sementara itu, Kesultanan Kutai Kartanegara punya catatan berbeda dengan Pemkot Samarinda. Sultan Aji Muhammad Salehuddin II menyebut kedatangan Daeng Mangkona adalah tahun 1708. Dalam buku "Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda" diuraikan detail polemik beragam versi tersebut.
Rekonstruksi sejarah Samarinda seakan terkungkung dan digiring hanya pada awal hikayat kedatangan Daeng Mangkona. Kultur Banjar yang terbentuk dan sebutan "penduduk asli" bagi Banjar di Samarinda oleh Oemar Dachlan (1978) seolah terabaikan.
Pembahasan ini konteksnya terbatas dalam koridor (ruang lingkup) studi ilmiah, bukan bermaksud mempertentangkan antarsuku, ras, dan golongan, karena kita hidup di NKRI yang ber-bhinneka tunggal ika. Ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa sebagai sebuah teori buatan manusia, tidak ada yang secara absolut/mutlak diklaim sebagai kebenaran.
Bagaimana uraian selengkapnya? Silahkan baca buku "Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda". Yang sudah pernah membacanya, niscaya bisa melihat berbagai riwayat diungkap dan polemik dikupas termasuk premis minor yang terbantahkan, seperti asumsi makam tua dan rumah cagar budaya di Samarinda Seberang.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar