Kamis, 09 Februari 2017

Kontroversi Hari Jadi Kota Balikpapan

Benarkah Kota Balikpapan baru berusia 120 tahun pada hari ini, 10 Februari 2017?
Tepatkah kesimpulan Seminar Sejarah Balikpapan 1984, yang memutuskan hari jadi Balikpapan pada tanggal 10 Februari 1897, berdasarkan tanggal pengeboran minyak pertama di Balikpapan yang dilakukan oleh perusahaan Mathilda?
Apakah sebelum tahun 1897 Balikpapan adalah terra incognita alias kawasan kosong tak berpenghuni?

Buku De Kroniek Van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting (bersampul abu-abu dalam foto ini) memberikan petunjuk berharga. Dalam buku ini, Constantinus Alting Mees memuat transliterasi “Salasilah Raja Kutai Kartanegara” dalam aksara Latin. Salasilah yang berasal dari tradisi lisan itu aslinya dalam aksara Arab-Melayu (Jawi), selesai ditulis pada 24 Februari 1849 oleh seorang Banjar bernama Khatib Muhammad Tahir, yang bekerja sebagai juru tulis Kesultanan Kutai Kartanegara.
C.A. Mees dalam bukunya halaman 101 menjelaskan bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh juru dakwah bergelar Tuan Tunggang Parangan bersama Raja Aji Mahkota (Raja Kutai Kartanegara periode 1525–1600), selain terjadi di Kutai Lama juga menyebar ke kawasan lain, satu di antaranya Balikpapan.
Nah, nama Balikpapan sudah tertera dalam manuskrip/naskah kuno, yang ditulis 48 tahun sebelum pengeboran minyak pertama di kota yang berjarak 120 kilometer dari Samarinda ini. Maka, cukup menakjubkan ketika dinyatakan bahwa Balikpapan baru lahir tiga tahun menjelang abad ke-20.
Dari riwayat Islamisasi Kutai dapat diinterpretasikan bahwa Balikpapan sudah memiliki peradaban manusia pada tahun 1575, sebagaimana waktu mulai berdakwahnya Tuan Tunggang Parangan di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Maka, sumber tertulis "Salasilah Kutai" bisa menggugurkan penetapan sejarah Balikpapan versi pemerintah. Hal ini lebih kuat daripada "sekadar" cerita rakyat tentang asal-usul nama Balikpapan dari hikayat papan hanyut yang kembali/balik arah.
Sugeng Priyadi dalam bukunya, Sejarah Lokal: Konsep, Metode dan Tantangannya (paling kanan di foto ini), mengkritik pola penulisan sejarah lokal di Indonesia. Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu mengungkapkan, sejarah lokal yang ditulis sebagai suatu pesanan mengakibatkan hasilnya mencerminkan ketergesa-gesaan (dikejar proyek) karena sering dikerjakan seadanya atau yang penting selesai (2012: 98).
Setelah Republik Indonesia berdaulat sepenuhnya dari intervensi Belanda, termasuk pembubaran Negara Federal RIS pada 1950, buku dan tulisan sejarah tentang Indonesia yang diajarkan kepada pelajar dan masyarakat masih berasal dari karya tulis orang Belanda dan Eropa lainnya.
Penulisan sejarah Nusantara oleh orang asing bukanlah pangkal masalahnya. Yang menjadi kontroversi adalah substansi tulisan yang bercorak Netherlands-sentris alias lebih mengutamakan kiprah dan dinamika Belanda sebagai pihak otoritas yang berkedudukan di Nusantara. Adapun penduduk asli Indonesia hanya dianggap sebagai "figuran", pelengkap derita belaka.
Muhammad Yamin, Pahlawan Nasional yang pernah menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, memelopori keharusan penulisan sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris. Artinya, sejarah ditulis dengan menempatkan bangsa Indonesia sebagai aktor utama dalam dinamika historis.
Oleh sebab itu, gagasan Yamin tentang Indonesia-sentris yang diaplikasikan oleh Sartono Kartodirdjo dengan historiografi menggunakan pendekatan multidimensional dan struktural, perlu diimplementasikan pada rekonstruksi sejarah Kota Balikpapan. Fokus sentralnya adalah “Balikpapan bukan kota yang lahir dari kolonialisme”.
Hendaknya, kekhawatiran W.J. van der Meulen SJ dalam bukunya, "Ilmu Sejarah dan Filsafat" (1987: 78), mengenai "gembong-gembong yang menyalahgunakan sejarah dengan sewenang-wenang untuk maksud politis dan propaganda", tidak terjadi lagi di masa kini.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar