Sabtu, 21 Januari 2017

Menyingkap Fakta Makam-makam Tua di Samarinda

Hingga medio 1980-an masyarakat Samarinda hanya mengenal dua makam tua. Keduanya terletak berseberangan, terpisah oleh Sungai Mahakam.
Makam pertama berada di Mangkupalas, sebuah kawasan tua yang sudah berperadaban sejak abad ke-13 Masehi. Pada batu nisannya tertulis "Pangeran Raja Surya" dengan aksara Arab.


Makam kedua terletak di Sungai Kerbau, kampung di pesisir Mahakam sebelah timur. Makam ini dikenal warga sebagai kuburan keramat berdasarkan cerita rakyat (folklor) tentang ahli ukir dari Jawa/Majapahit.
Moh. Nur Ars bersama tim peneliti sejarah Samarinda (1986) mengungkapkan, dua makam tersebut dikategorikan sebagai peninggalan purbakala yang terinventarisasi di Samarinda. Hingga akhir penelitiannya, tidak diketahui adanya makam dari tokoh yang bernama La Mohang Daeng Mangkona.
Adapun makam yang baru dua dasawarsa terakhir disosialisasikan pemerintah sebagai makam tokoh pendiri Samarinda, yakni La Mohang Daeng Mangkona, sesungguhnya baru ditemukan oleh M. Thaha (alm). Hal ini diwartakan oleh Pemkot sendiri ketika menerbitkan buku profil 46 tokoh masyarakat penerima penghargaan dalam rangka HUT Pemkot Samarinda ke-47 tahun 2007. M. Thaha diberi penghargaan dengan statusnya sebagai penemu dan penjaga makam Daeng Mangkona.
Fakta terungkap bahwa makam Daeng Mangkona baru ditemukan. Ini menimbulkan interpretasi bahwa keberadaan makam tersebut sebelumnya tidak terdeteksi. Dengan kata lain, tidak ada perawatan makam secara kontinu atau turun-temurun hingga Samarinda memasuki masa Orde Baru.
Tafsiran lain, eksistensi Daeng Mangkona memang tidak lekat padanya sebagai pendiri Kota Samarinda. Sebagai pengikut La Maddukkelleng, ia memang bukan termasuk rombongan Wajo yang datang lebih dulu ke Kutai pada 1668. La Maddukkelleng baru lahir tahun 1700 sehingga informasi yang menyebutkan Daeng Mangkona hijrah ke Samarinda tahun 1730 menjadi keniscayaan dan suatu informasi yang realistis.
Dalam permasalahan klaim makam tua, pihak pemerintah memang memerlukannya sebagai sarana seremonial dan koleksi cagar budaya untuk inventaris kebudayaan. Namun, terkadang pemangku kebijakan melakukan tindakan yang tidak selaras dengan kaidah ilmiah yang kemudian kontraproduktif bagi edukasi masyarakat.
Sebagai komparasi, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai tahun 1970-an pernah menetapkan sebuah nisan tua tak beridentitas di Tenggarong sebagai makam Awang Long Senopati, tokoh yang disebut sebagai panglima Kutai yang gugur ketika berperang melawan Belanda 1844.
Penetapan makam Awang Long tersebut kemudian menimbulkan kontroversi. Hal ini diungkap sendiri oleh pelaku yang mencari kuburan tua yang akan ditetapkan sebagai makam Awang Long. Zailani Idris, pakar sejarah Kutai, mengaku menemani Bupati Kutai, Ahmad Dahlan, tahun 1970-an mencari makam tua tersebut dan menemukan sebuah makam tak bernama di Mangkurawang. Maka, dibangunlah monumen cagar budaya makam Awang Long di lokasi itu.
Rekaan makam Awang Long itu selanjutnya tidak berdampak positif bagi kepahlawanan Awang long. Sebagian pihak menuding, Awang Long hanyalah kisah dalam sastra fiksi. Hinggi kini pun, usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Awang Long tak pernah disetujui pemerintah pusat.
Bercermin dari kasus itu, semestinya kita memisahkan secara jelas antara fakta dan rekayasa, antara realita dan imajinasi, antara nyata dan fiksi, serta antara sejarah dan mitos. Prinsip ilmiah kesejarahan harus diutamakan dalam historiografi (penulisan sejarah).

Referensi:
(1)   Moh. Nur Ars dkk, Sejarah Kota Samarinda(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986), hlm. 53–54.
(2)   Muhammad Sarip, Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran (Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari, 2016), hlm. 60–62.
(3)   Umar Vaturusi & Herman A. Hasan, Pengabdiannya Menuai Penghargaan Mutiara-mutiara Samarinda (Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda, 2007), hlm. 39–40.
(4)   M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan ke-11, 2016, dicetak pertama kali tahun 1991), hlm. 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar