Kamis, 09 November 2017

Kisah Kali Pertama Hari Pahlawan Diperingati di Samarinda

Pertempuran heroik di Surabaya, 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Setahun kemudian, 10 November 1946, mestinya menjadi momentum peringatan pertama pertempuran tersebut. Tetapi, itu tidak terjadi.

Lantas, kapankah Hari Pahlawan diperingati pertama kali di Samarinda? Di mana upacaranya? Siapa tokoh yang memelopori peringatan Hari Pahlawan perdana di ibu kota Kalimantan Timur?


Perlu empat tahun sejak 1945 untuk mencapai situasi yang kondusif guna menggelar upacara peringatan Hari Pahlawan. Pada 10 November 1949, Abdoel Moeis Hassan bersama koalisi organisasi yang dipimpinnya, yakni Front Nasional, menyenggarakan upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman Gedung Nasional, Stamboel Straat (sekarang Jalan Panglima Batur), Samarinda.

Perlu diterangkan, Abdoel Moeis Hassan ini bukanlah tokoh yang namanya dijadikan nama rumah sakit di Samarinda Seberang. Tokoh “Abdoel Moeis” di Kaltim memang ada dua yang terkenal. Yang pertama ialah Inche Abdoel Moeis, pernah menjadi Kepala Daerah Provinsi Kaltim selama dua bulan pada awal 1959. Inche ini yang namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit I.A. Moeis, ketika putranya yang bernama Emir Moeis aktif sebagai ketua DPW PDIP Kaltim dan ketua Panitia Anggaran DPR RI 2004–2009.

Adapun “Moeis” yang kedua ialah Abdoel Moeis Hassan, pernah menjadi Gubernur Kaltim periode 1962–1966. Moeis Hassan inilah yang tersohor pada era Revolusi Kemerdekaan sebagai satu dari pejuang diplomasi di jajaran terdepan yang pro-Republik Indonesia, dengan status sebagai ketua Ikatan Nasional Indonesia (INI) Samarinda dan ketua Front Nasional Kaltim. Moeis Hassan pula yang pada dekade 1950-an aktif mengkampanyekan penghapusan swapraja alias pemerintahan kesultanan dan menggagas pendirian Provinsi Kaltim.

Nah, kembali pada sejarah Hari Pahlawan perdana di Samarinda, Moeis Hassan menuturkan peristiwa itu dalam buku memoarnya, Ikut Mengukir Sejarah (1994). Kala itu pihak Moeis Hassan dkk bukanlah dari kalangan pemerintah. Pihak pemerintahan di Kaltim waktu itu masih dikuasai oleh orang-orang lokal yang mendukung Gubernur Hindia Belanda, H.J. van Mook.

Tahun 1949 itu RI masih berjuang secara fisik dan diplomasi untuk memperoleh kemerdekaan secara de facto dan terutama de jure melalui Perundingan Roem-Roijen dan Konferensi Meja Bundar. Moeis Hassan dkk menuntut kepada Residen Kaltim agar walaupun pemerintah tidak mengakui 10 November sebagai hari besar, tetapi hendaknya meliburkan para pegawai negeri.

Mengingat hasil KMB yang menyatakan kedaulatan RI segera diserahkan pada akhir Desember 1949, maka pemerintah pun mengabulkan tuntutan Front Nasional. Jadilah upacara peringatan Hari Pahlawan digelar di sekeliling Tugu Nasional di halaman Gedung Nasional. Bendera Merah-Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya.

Kemudian, dilakukan simbolisasi penghormatan pahlawan bangsa dengan peniupan terompet oleh para remaja/pemuda yang tergabung dalam Kepanduan Indonesia Merdeka (KIM). Adapun prosesi mengheningkan cipta bukanlah seperti yang baku sekarang, melainkan dengan pembacaan sajak “10 November” oleh Oemar Dachlan, tokoh pers Kaltim. Lantas, karangan bunga diletakkan di Tugu Nasional.

Setelah itu, hadirin memasuki Gedung Nasional untuk mendengarkan pidato Moeis Hassan tentang sejarah Hari Pahlawan. Uniknya, Moeis Hassan sebagai pemimpin kaum Republikein kala itu baru berusia 25 tahun. Ia memang sejak kecil sudah aktif dalam organisasi pergerakan nasional dan pernah berguru pada A.M. Sangadji.

Patut disayangkan, jasa dan perjuangan Moeis Hassan kurang terpublikasi sejak Orde Baru. Peristiwa Gerakan 30 September yang kemudian meruntuhkan Orde Lama turut menyebabkan para pemimpin daerah dari kalangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan pendukung Sukarno tersingkir tatkala rezim Soeharto berkuasa. Bahkan, Moeis Hassan sebagai Gubernur Kaltim difitnah sebagai orang yang pro-PNI yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat fitnah tersebut, Moeis Hassan menyerahkan jabatannya dalam Sidang Istimewa DPRD Kaltim di hadapan Menteri Dalam Negeri, Mayjen Basuki Rahmat, orang kepercayaan Soeharto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar