Tenggarong itu unik. Statusnya bukan ibu kota provinsi. Namun, kota ini identik sebagai kota pusat kebudayaan di Kalimantan Timur. Pada bulan September, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara ini ramai ketika satu hari diritualkan penyiraman air secara kolosal, yang dinamai “belimbur”.
Apa yang membuat Tenggarong dikenal publik outsider? Mengapa dalam kisaran setengah abad ini Tenggarong menjadi destinasi kunjungan para wisatawan?
Ternyata, Museum Mulawarman adalah episentrum utamanya. Bekas keraton Sultan Kutai itu lebih dari sekadar bangunan antik. Ada nilai historis, kultural, dan komersial dari bekas kediaman Sultan Adji Mohamad Parikesit (teks nama personal sesuai dokumen autentik) tersebut.
Publik di luar ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki rasa penasaran dan antusiasme untuk mengunjungi Museum Mulawarman. Bangunan ini diakuisisi oleh pemerintah Indonesia pada 1971. Arsitekturnya setara dengan Istana Bogor yang sama-sama eksis pada masa Hindia Belanda. Keraton Kutai selesai dibangun pada 1937.
Museum di Tenggarong menjadi pusat koleksi benda kebudayaan Kutai dan entitas Kalimantan Timur lainnya. Kota tradisional di sebelah barat Samarinda ini juga perlahan bertransformasi menuju kota modern dengan keunggulan aspek warisan sejarah dan budaya tradisinya.
Asal-Usul Tenggarong
Sebelum menjadi kota, Tenggarong adalah kampung yang bernama Tepian Pandan. Lokasi di tepi Sungai Mahakam ini banyak ditumbuhi tanaman pandan (Pandanus) dan tegaron (Crataeva Nurvala). Permukiman tradisional ini dihuni oleh suku Kedang-Lampong. Pemimpinnya bernama Sri Mangku Jagat dan Sri Setia.
Pada 1782 Sultan Aji Imbut menyusuri Sungai Mahakam dari Jembayan ke arah hulu. Raja yang bergelar Sultan Muhammad Muslihuddin itu ingin mencari lokasi baru untuk dijadikan ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara.
Pada periode 1732 hingga 1782 istana Kutai berada di Jembayan (kini termasuk Kecamatan Loa Kulu). Sebelumnya lagi, periode 1300–1732 Kerajaan Kutai beribu kota di Jaitan Layar dan Tepian Batu (kini Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana).
Alasan utama pemindahan ibu kota Kutai adalah faktor pertahanan militer. Sumber historiografi tradisional Salasilah Bugis di Kutai yang diteliti SW Tromp dan dipublikasikan dalam kajian "Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai" (1887) mengungkap, ibu kota di Kutai Lama mendapat agresi militer dari pasukan koalisi Sulu dan Bugis.
Lokasi awal ibu kota Kutai memang terlalu dekat dengan muara Selat Makassar. Karena itu, Raja Kutai kemudian memindahkan ibu kota ke lokasi yang lebih dalam ke daratan Kalimantan.
Perjalanan Sultan Aji Imbut naik perahu tiba di lokasi yang wangi dengan tanaman pandan. Di Tepian Pandan inilah Sultan Aji Imbut memutuskan untuk mendirikan istana baru.
Sebagai raja, Sultan Aji Imbut mempunyai otoritas penuh untuk mengganti toponimi kampung. Tepian Pandan diubah namanya menjadi “Tegaron”, sama-sama dari unsur biotik lokal. Southern Australian, sebuah koran yang terbit di Adelaide edisi 24 September 1844 menuliskan teks “Tongaron” untuk nama kota yang didatangi oleh rombongan pengusaha yang dipimpin James Erskine Murray. Lambat laun pelafalan tegaron berubah menjadi Tenggarong.
Memang terdapat versi lain asal-usul Tenggarong dari “tangga arung”, artinya tangga raja. Namun, konteks penamaan sebuah lokalitas pada tempo dulu lebih valid berbasis unsur ekologi lokal. Eksistensi flora dan fauna yang terdapat di suatu tempat lebih kuat untuk dijadikan toponimi lokasi. Hal ini sebagaimana asal-usul nama Majapahit dari buah maja yang terasa pahit.
Sumber historiografi tradisional tidak menyebutkan detail tanggal dari pemindahan ibu kota Kutai dari Jembayan ke Tenggarong. Namun, Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai No. THP. 276/E-/Pem-134/197p tanggal 28 September 1972 yang ditandatangani oleh Bupati Ahmad Dahlan menetapkan Hari Jadi Kota Tenggarong adalah 28 September 1782.
Visi Kota Hunian Minim Konflik dan Bebas Banjir
Aspek historis memberikan pelajaran bahwa orientasi pendirian Kota Tenggarong adalah menjadikannya sebagai ruang permukiman yang lebih tenang, damai, dan meminimalisasi kebisingan serta konflik.
Sejak ibu kota Kutai di Jembayan, pusat politik dan ekonomi ditempatkan secara terpisah. Aktivitas perekonomian dipusatkan di Samarinda sebagai market city sekaligus kota pelabuhan.
Ketika Raja Kutai ingin memindahkan ibu kota dalam definisi istana sultan, opsinya bukan ke Samarinda. Kota raja dibedakan dengan bandar niaga.
Kota pelabuhan adalah titik kumpul para pedagang dan perantau lintas etnis lintas pulau. Samarinda juga menjadi tempat transit berbagai hasil alam dari pedalaman Mahakam yang akan diekspor dan komoditas yang diimpor dari luar Kutai.
Konsekuensi dari kota pusat ekonomi adalah risiko sosial dan kriminalitas yang tinggi. Data Pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 menunjukkan maraknya tindak kriminal termasuk penghilangan nyawa manusia di Samarinda yang berlatar belakang kegiatan perdagangan. Hal ini sebagaimana laporan J Zwager yang berjudul “Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie” (1866).
Raja Kutai juga tidak memilih Samarinda sebagai kota raja, patut diduga berdasarkan pertimbangan permukaan sungai dan daratan lokasi ini yang sama rendahnya. Geografis Samarinda tidak cukup ideal untuk dijadikan kediaman sultan.
Samarinda mengalami rutinitas “calap”, yakni diksi bahasa Banjar Samarinda yang bermakna air pasang yang menggenangi daratan. Raja Kutai tampak visioner terhadap perencanaan hunian yang ideal dari aspek topografi.
Kantor Dagang Asing Tidak Diizinkan
Putra dari Sultan Aji Imbut yang menggantikan takhta, yakni Sultan Aji Muhammad Shalihuddin, melanjutkan fungsi Tenggarong sebagai ibu kota politik, tanpa menggabungkannya dengan pusat dagang.
Pada Februari 1844 rombongan pengusaha Inggris dengan kapal brig Anna dan kapal schooner Yonge Quene yang dipimpin James Erskine Murray datang ke Tenggarong. Mereka meminta izin mendirikan kantor dagang di Tenggarong.
Sultan hanya mengizinkannya berdagang di Samarinda. Murray kecewa, lalu bertindak brutal dengan menembakkan meriam dari kapalnya ke arah istana.
Pasukan Kutai membalas agresi Murray. Beberapa anak buah Murray yang dapat kabur ke Makassar melaporkan insiden di Kutai. Pemerintah Hindia Belanda lalu mengirimkan armada militer ke Tenggarong.
Pada 1 April 1844 armada Belanda yang dipimpin Letnan Hoofd tiba di Samarinda. Utusan dikirim ke Tenggarong meminta Sultan Salihuddin datang menemui Hooft di Samarinda. Sultan menolak dan sebaliknya meminta Hoofd yang menghadap ke Tenggarong.
Pada 6 April 1844 armada Belanda memasuki perairan Tenggarong. Kota sudah kosong. Sultan Salihuddin bersama para aristokrat mengungsi ke Kota Bangun. Keesokan harinya (7 April), Belanda membakar Kota Tenggarong. Sultan Salihuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah Hindia Belanda pada 11 Oktober 1844.
Dari Kota Raja ke Kota
Kabupaten
Tenggarong berfungsi sebagai ibu kota Kesultanan Kutai sejak era Sultan Aji Imbut 1782 hingga berakhir pada era Sultan Adji Mohamad Parikesit pada 1960. Pada 1953 hingga 1959 Kesultanan Kutai berstatus Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan otomatis menjabat kepala daerah.
Pada 11 Mei 1959 DPR RI menerbitkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan. Substansi UU ini menghapuskan sifat dan nomenklatur Daerah Istimewa dan menggantinya dengan Daerah Tingkat II Kabupaten dan Kotapraja. Daerah Istimewa Kutai termasuk yang dihapuskan.
Pada 21 Januari 1960 Kabupaten Kutai berdiri dengan wilayah dari warisan Kesultanan Kutai, dikurangi wilayah Samarinda dan Balikpapan. Lantas, Tenggarong menjadi ibu kota Kabupaten Kutai dengan kepala daerah yang tidak lagi dijabat oleh Sultan Kutai.
Kepala daerah Kutai disebut bupati, yang kali pertama ditunjuk oleh pemerintah pusat. Berikutnya ada mekanisme pemilihan di DPRD dan sejak 2005 pemilihan bupati secara langsung.
Transformasi Abad Ke-21
Tenggarong yang berubah status dari kota raja menjadi kota kabupaten mengalami dinamika progresif pasca-Reformasi 1998 dan implementasi Otonomi Daerah. Fasilitas umum, infrastruktur modern, destinasi wisata massal dibangun pesat.
Tenggarong mulai bertransformasi menjadi kota yang ‘benar-benar’ kota. Meskipun relatif belum kota besar, tapi setidaknya bukan lagi seperti kota level kecamatan.
Pemerintah daerah tetap menjaga memori kolektif masa lalu Tenggarong sebagai kota raja. Keramaian kolosal terjadi di Tenggarong khususnya pada September. Bulan ke-9 kalender Masehi sangat identik dengan pagelaran erau adat Kutai. Sekitar 2 pekan berbagai atraksi budaya dirangkai dalam ritual erau yang dimulai dari bekas istana Sultan Kutai dan berakhir di Sungai Mahakam kawasan Desa Kutai Lama.
Dinamika zaman adalah keniscayaan. Kebudayaan juga dinamis, tidak statis. Modernisasi—meskipun debatable—mulai terealisasi pada masa kini dan kontinu hingga masa depan.
Masyarakat generasi baru juga merasa perlu dengan adanya fasilitas dan sarana-prasana modern sebagaimana yang lebih dulu eksis di Samarinda dan Balikpapan. Sudah selayaknya Tenggarong menjadi episentrum bagi masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara.
Pertamanan yang berfungsi sebagai ruang publik, spot kuliner yang variatif baik tradisional maupun modern, pasar tradisional yang direstorasi merupakan simbol fisik pembangunan terkini. Pusat hiburan keluarga seperti mal dan bioskop juga diwacanakan. Semuanya bisa berpadu dengan atribusi Tenggarong sebagai kota ikonik budaya Kaltim.
Akhirnya, selamat merayakan Hari Jadi ke-243 Kota
Tenggarong pada 28 September 2025. Selamat merefleksikan memori historis bahwa
topinimi Tenggarong berasal dari unsur kehidupan biotik, yang kemudian tetap
eksis dengan segala dinamika multidimensinya.
(Artikel ini ditulis oleh Muhammad Sarip, dipublikasikan kali pertama di surat kabar harian Kaltim Post edisi Senin 29 September 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar