Selasa, 31 Januari 2023

Tim Komunikasi Presiden Adakan FGD Sejarah Kutai di Setneg

Sebuah kemajuan yang signifikan terjadi di kompleks istana. Sejarah lokal Kalimantan Timur dibahas dalam forum Tim Komunikasi Presiden.

Jakarta, SejarahKaltim.com

Staf Khusus Presiden RI mengundang tiga narasumber ke Gedung Utama Kementerian Sekretariat Negara pada 31 Januari 2023. Surat undangan berkop Sekretariat Kabinet RI ditandatangani oleh Sukardi Rinakit. Tiga narasumber itu adalah sejarawan Rushdy Hoesein, sejarawan Muhammad Sarip, dan youtuber sejarah Asisi Fransiskus. Focused Group Discussion (FGD) atau diskusi terpumpun digelar di gedung sebelah istana negara.

 

Cak Kardi, sapaan akrab Sukardi yang merupakan penulis satu dari naskah pidato presiden, menggagas forum ini. Menurutnya, Jakarta sebagai ibu kota negara (IKN) punya narasi sejarah yang kuat. Lokasi dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928 berada di kota yang dulunya bernama Jayakarta. Tempat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 juga di eks Batavia. Ada lagi beberapa peristiwa monumental di era Sunda Kelapa. Lantas, ketika 26 Agustus 2019 Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, bagaimana kekuatan narasi historisnya?

 

Setelah Undang-Undang No. 3 tentang Ibu Kota Negara diberlakukan pemerintah per 15 Februari 2022, publikasi yang mengemuka relatif didominasi urusan pembangunan infrastruktur. Padahal Presiden Jokowi menekankan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) bukan sekedar memindah fisik perkantoran, tapi juga membangun mindset, budaya kerja dan juga magnet pertumbuhan ekonomi baru.  (AR)

 


Jakarta telah memainkan satu fase sejarah sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, tapi saat ini menanggung beban sangat berat untuk menghadapi tantangan masa depan. Karena itu, pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur adalah kebutuhan krusial bangsa dengan beberapa alasan fundamental.” Begitu pemikiran Stafsus.

 

Stafsus Presiden ingin mendalami data historis peradaban dari tanah Kutai. Ditelusuri pula pengaruh kerajaan dinasti Aswawarman putra Kundungga dalam peradaban Nusantara. Semuanya bermuara pada imajinasi kolektif kebangsaan dan nasionalisme Indonesia.

 

Sarip menyampaikan presentasi berjudul “Pertautan Sejarah Peradaban Kutai dan IKN Nusantara”. Persepsi umum bahwa ingat Kutai ingat kerajaan tertua di Nusantara. Namun, nama monarki yang berbasis prasasti yupa itu tersebut bukanlah Kutai. Perlu diketahui, Kutai Kertanegara adalah kerajaan lain yang berbeda secara lini masa, lokasi, dinasti, dan sebagainya.

 


Konsensus para ilmuwan yang meneliti sejarah Kutai, nama kerajaan dinasti Mulawarman adalah Martapura. Adapun Martadipura merupakan penyimpangan penamaan yang dibuat oleh seorang pejabat Pemda Kutai era 1980-an. Tentang nama Martapura ini, telah memublikasikan karya jurnal ilmiah berjudul “Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur”.

 

Toponimi Kutai sendiri dicetuskan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti pada penghujung abad ke-13 Masehi. Kutai dengan tambahan nama Kertanegara dijadikannya nama kerajaan.

 

Yang unik juga, terdapat dokumentasi Solco Walle Tromp (1888) dan SC Knappert (1905) mengenai nama Nusantara di tanah Kutai. Kedua ilmuwan Belanda ini mencatat tradisi lisan penduduk setempat, bahwa dulunya sebelum bernama Kutai, kawasan permukiman mereka dikenal dengan nama Nusantara.

 

Dari aspek geografis, kenyataannya memang lokasi Jaitan Layar di Kutai Lama berada dalam gugusan pulau yang banyak. Lokasi di muara Sungai Mahakam tersebut selaras dengan makna harafiah Nusantara dari bahasa Sanskerta sebagai pulau di antara.

 

Presentasi sarip tutup dengan konklusi bahwa peradaban Nusantara dengan titik awal berakhirnya masa pra-aksara, dimulai dari timur Pulau Kalimantan. Meski daerah-daerah lain punya klaim kehidupan purba yang lebih tua, tetapi menurut antropolog Koentjaraningrat, istilah peradaban merujuk suatu kebudayaan yang halus, maju, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.

 

Toponimi Nusantara sebagai nama ibu kota baru negara tidak bisa dilihat hanya dari perspektif Jawa-sentris karena dari lokalitas Kalimantan—khususnya wilayah pra-Kutai—juga terdapat jejak toponimi Nusantara tanpa pretensi hegemoni Jawa atas luar Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar