Rabu, 09 Agustus 2017

Sejarah Pua Ado, Kepala Polisi Banjar, dan Pangeran Bendahara di Samarinda Tempo Dulu

Penulisan sejarah memang dinamis dan tidak ada yang bersifat final. Revisi akan terus dilakukan seiring terungkapnya sumber yang tersembunyi dan tersingkapnya tabir yang menutupi sejarah.
Saya memperoleh salinan naskah "Salasila Bugis di Kutai" yang termaktub dalam hasil riset karya Solco Walle Tromp tahun 1887 berjudul "Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai". Tulisan berbahasa Belanda dan Melayu kuno ini diterjemahkan serta disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang peneliti di Universitas Leiden-Belanda, bernama Frieda Amran. Saya kemudian berkorespondensi dengan antropolog kelahiran Sumatra Selatan tersebut.


Tulisan S.W. Tromp 1887 merupakan sumber sejarah yang sangat berharga dalam rekonstruksi sejarah lokal Samarinda. Substansi Salasila Bugis di Kutai yang diteliti oleh pria yang pernah menjabat Asisten Residen AfdeelingKutai dan Pesisir Timur Laut Kalimantan itu memiliki kesamaan dengan “Surat Perjanjian Bugis dengan Raja Kutai” yang dikutip C.A. Mees (1935) dalam bukunya, De Kroniek Van Koetai. Keduanya sama-sama tidak menyebutkan nama La Mohang Daeng Mangkona sebagai pua ado pertama yang meminta perizinan kepada Raja Kutai. Nama Pua Ado yang diajukan suku Bugis dan disetujui Raja Kutai adalah Anakoda Latuji (La Tujing).
Tromp dan Mees juga sama-sama mengungkapkan lokasi pusat Kerajaan Kutai ketika orang-orang Bugis mulai menetap di Samarinda adalah Jembayan, tidak lagi di Kutai Lama. Dengan ini, semakin kuatlah landasan untuk menganulir cerita sejarah versi resmi tentang waktu kedatangan rombongan Bugis ke Samarinda tahun 1668 dan ketokohan Daeng Mangkona sebagai pendiri Kota Samarinda.
Dengan data Tromp dan Mees, perizinan dari Raja Kutai terhadap orang Bugis yang menetap di Samarinda terjadi ketika istana Kutai berada di Jembayan, yang berarti terjadi pada dekade 1730-an, atau paling cepatnya pada tahun 1732. Hal ini mengingat pusat Kerajaan Kutai Kertanegara baru dipindahkan dari Kutai Lama ke Jembayan pada tahun 1732. Terlepas dari akurasi tahunnya, yang jelas Samarinda yang ditempati oleh orang-orang Bugis itu sudah bernama Samarinda sebelum mereka menghadap Raja Kutai guna meminta izin menetap.
Catatan Tromp juga mengungkapkan kiprah Pua Ado dan komunitasnya di Samarinda Seberang pada pertengahan abad ke-19 yang memunculkan konflik sehingga Sultan Kutai merasa perlu mengangkat kepala polisi dari seorang Banjar, yang kemudian digantikan oleh seorang dari luar kerajaan, yakni Pangeran Bendahara. Pada era Pangeran Bendahara di sepertiga terakhir abad ke-19 inilah situasi keamanan dan ketertiban umum di Samarinda dapat stabil.
Namun, realita yang cukup muskil sekarang, ketokohan Pangeran Bendahara di Samarinda Seberang tidak banyak terpublikasi, walaupun namanya dijadikan sebuah jalan umum. Ternyata, tidak populernya tokoh Pangeran Bendahara di kalangan masyarakat Bugis karena andilnya dalam menghapuskan jabatan pua ado dan pemerintahan otonom suku Bugis di Samarinda Seberang tahun 1870.
Penelitian Tromp ini juga luput dari sumber pustaka dan referensi tim penyusun sejarah Kota Samarinda versi Pemkot. Seandainya riset Tromp digunakan, tentu tidak akan muncul keputusan hari jadi Kota Samarinda 21 Januari 1668. Selain itu, tidak akan ada klaim bahwa Samarinda didirikan oleh seorang yang bernama La Mohang Daeng Mangkona.
Sebagai konsekuensi atas penambahan riwayat berdasarkan referensi tulisan Tromp, buku Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999 diterbitkan edisi revisinya pada Juli 2017.* Buku ini bertambah jumlah halamannya sebanyak dua belas halaman. Pembahasan tentang asal mula Bugis di Samarinda dan kelembagaan Pua Ado versi naskah Salasila Bugis di Kutai yang diteliti Tromp terdapat pada halaman 37–42. Kemudian, konflik dan gangguan stabilitas keamanan di Samarinda, kiprah Pangeran Bendahara, serta dihapuskannya jabatan pua ado oleh Sultan Kutai, terdapat pada halaman 62–67.
Ada juga informasi tentang status makam La Mohang Daeng Mangkona yang baru ditemukan pada era 1990-an pada halaman 47 serta argumen untuk menyanggah premis bahwa buku Merajut Kembali Sejarah Kota Samarindaterbitan Pemkot (2004) ditulis oleh para pakar sejarah, pada halaman 50–51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar