Selasa, 20 Juni 2017

Tradisi Bagarakan Sahur di Samarinda (Asal Usul, Sejarah, dan Penyelewengannya)

Hari sudah lewat tengah malam, bahkan masuk dini hari. Ini waktu yang paling nyaman untuk tidur nyenyak. Tetapi, bunyi tetabuhan yang gemuruh dan genderang itu nyaring bertalu-talu. Suaranya terdengar beranjak pelan mengelilingi permukiman warga. 

Pelakunya adalah rombongan anak-anak dan remaja. Warga pun terbangun dari tidur pulasnya. Aksi mereka memang membuat suasana berisik dan 'mengganggu' tidur lelap warga. Namun, warga tidak marah. Dalam tempo tertentu, ada pekikan "Sahur, sahur, sahur!" yang dilontarkan rombongan itu.  Demikianlah tradisi tempo dulu yang berlangsung pada bulan Ramadan di Samarinda dan pelbagai daerah lainnya.

Kegiatan membangunkan penduduk muslim untuk bersantap sahur pada dini hari bulan Ramadan dengan tetabuhan perkusi modifikatif secara berombongan di Samarinda dikenal dengan istilah “Bagarakan Sahur”. Tradisi ini berlangsung turun-temurun oleh beberapa generasi di Samarinda.

Kegiatan ini sebenarnya substansinya sama saja dengan tradisi di tempat lain di Nusantara, juga di belahan dunia yang lain. Di Jawa namanya grebek sahur. Di Jakarta namanya beduk sahur. Intinya, mengomunikasikan seruan bersahur bagi muslim yang masih tertidur.

Di Samarinda, Bagarakan Sahur diadopsi dari tradisi yang sama dengan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Istilah “Bagarakan Sahur” di Indonesia sangat dikenal ‘paten’-nya berasal dari Banjar-Kalimantan Selatan. Bahkan, sebuah iklan komersial di televisi menampilkan Bagarakan Sahur sebagai satu dari beberapa tradisi lokal membangunkan sahur di Nusantara.
Bagarakan berasal dari kata "garak" yang berarti gerak. Kata "garak" diberi imbuhan ba-an, sehingga menjadi "bagarakan" yang berarti bergerakan.

Beberapa abad silam, listrik dan jam weker belum ada. Tingkat kebugaran penduduk kala tidur pun tak sama. Ada yang mudah terbangun, ada pula yang tertidur pulas tak peduli gangguan. Maka, cara membangunkan mereka mesti dengan kegiatan meriah, serempak, dan terkoordinasi.

Masyarakat Banjar terbentuk dari adaptasi komunitas Dayak Maanyan, Ngaju, dan Bukit dengan Melayu dan Jawa. Sebelum Islam tersebar dan menjadi agama bangsa Banjar pada abad ke-16 Masehi, mereka sudah memiliki alat musik tradisional sebagai satu dari alat komunikasi massal. Babun (gendang) dan gong termasuk alat musik pukul dalam rangkaian gamelan Banjar sejak abad ke-14 M.

Ritual puasa sebulan Ramadan mengharuskan penganut Islam bersantap sahur supaya kuat menjalani puasa di siang hari. Namun, bangun di saat waktu tidur nyenyak bukanlah perkara mudah bagi penduduk yang teknologinya belum modern. Karenanya, muncul inisiatif dari warga terutama pemudanya berkeliling kampung menabuh gendang dan benda-benda yang menimbulkan bunyi nyaring seperti besi. Secara koor mereka meneriakkan “Sahur! Sahur!” dengan iringan tetabuhan.

Adapun di Samarinda, para pemudanya melakukan Bagarakan Sahur dengan membawa bermacam-macam alat. Pada abad ke-20 sudah muncul perkakas-perkakas modern seperti piring seng, kaleng, sendok, botol kaca, selain bilah bambu tradisional. Di awal abad ke-21 ada galon air 19 liter yang dipergunakan. Barang-barang tersebut dibawa oleh setiap kelompok di masing-masing kampung.

Peserta Bagarakan Sahur di Samarinda, tak hanya dari etnis Banjar, tetapi juga dari suku lainnya. Samarinda masa kini adalah kota multietnis alias memiliki keberagaman suku. Migrasi penduduk besar-besaran dari berbagai pulau terjadi dalam tiga tahun jelang 1980. Hal itu berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja seiring mulai majunya industri kayu lapis berskala nasional.

Meskipun Samarinda dihuni oleh beragam etnis, masyarakat Samarinda tetap mempertahankan kultur lokal Banjar yang sudah membumi sejak lima abad sebelumnya. Patut diingat dan diketahui bahwa Samarinda masa lalu adalah wilayah Kutai Kartanegara dan termasuk vasal (daerah kekuasaan) dari Kerajaan Banjar.

Bahasa Banjar merupakan lingua franca (bahasa pergaulan) yang dipergunakan masyarakat Samarinda sebagai satu dari unsur kebudayaan universal. Pengguna bahasa Banjar tidak hanya dari etnis Banjar, tetapi juga dari kalangan non-Banjar seperti Kutai, Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain.

Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Samarinda menyelenggarakan Festival Bagarakan Sahur. Format yang dipertahankan dalam kegiatan ini adalah tidak diperkenankannya penggunaan alat musik melodis seperti piano dan gitar. Transformasi alat perkusi yang dibawa adalah beduk yang dibuat dari drum berlapis kulit.

Sementara itu, di sebagian wilayah Kota Samarinda, terjadi penyelewengan dalam tradisi ini. Sebagian remaja dan anak-anak, gabungan laki-laki dan perempuan, melakukan perubahan radikal mengatasnamakan Bagarakan Sahur. Pesertanya tidak lagi berjalan kaki. Mereka mengendarai sepeda motor tanpa helm, belum memiliki SIM, berkeliling sambil membunyikan alat pemutar musik modern bervolume sangat keras.

Masyarakat bukannya terbantu dengan ‘revolusi’ tersebut, melainkan geram terhadap mereka. Aksi tersebut selain melanggar peraturan lalu lintas, juga dinilai melanggar adab dan norma sosial. Yang jelas, itu bukanlah patron dari kearifan lokal bertajuk Bagarakan Sahur.

Bagarakan Sahur memiliki tujuan mulia membangunkan orang sahur. Tujuan mulia harus dengan cara yang beradab. Bagarakan Sahur tradisional itulah yang dimaklumi semua orang.

***
Referensi:
[1] Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar, disertasi 1968, diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990).
[2] Noorpikriadi, Sejarah, Etnisitas, dan Kebudayaan Banjar (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015).
[3] “Bukannya Membangunkan Warga, Bagarakan Sahur Dianggap Malah Mengganggu”, http://kaltim.tribunnews.com/2017/06/03/bukannya-membangunkan-warga-bagarakan-sahur-dianggap-malah-mengganggu, diakses tanggal 4 Juni 2017.
 [4] “Walikota Buka Festival Bagarakan Sahur”, www.kaltim.kemenag.go.id, diakses tanggal 18 Juni 2017.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar