Senin, 28 Agustus 2017

Wanita Penghibur di Pusat Kota Samarinda Zaman Dulu

Iklan lawas yang ditampilkan dalam artikel ini diterbitkan dalam sebuah buku resmi oleh Badan Pelaksana Taman Pusat Kebudayaan dan Olah Raga Tenggarong. Pemuatan iklan tentu saja sebagai konsekuensi atas sponsor pencetakan buku tahun 1973 tersebut.
Di antara konten yang spesial dari iklan ini adalah promosi pramuria-pramuria jelita dan sopan yang cukup representatif yang akan membersamai para pengunjung bar, restoran, dan kelab malam di pusat Kota Samarinda itu. Istilah pramuria menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah karyawati kelab malam yang bertugas melayani dan menemani tamu.

Secara istilah baku, pramuria tidak bermakna pekerjaan negatif atau melanggar norma kesusilaan. Akan tetapi, realita di masyarakat, definisi pramuria mengalami perubahan, menjadi setara dengan pelacur, lonte, wanita penghibur, wanita tunasusila (WTS) atau kini dikenal pekerja seks komersial (PSK).
Lokasi tempat hiburan bernama Maranthy Counter Club (MCC) di Jalan Niaga Selatan merupakan satu bagian dari Taman Hiburan Gelora (THG), pusat perdagangan dan hiburan masyarakat Samarinda era 1970-an. Kala itu, Samarinda sedang menikmati kejayaan hasil usaha perdagangan kayu gelondongan. Karenanya, kota yang dibelah oleh Sungai Mahakam ini banyak didatangi perantau dari pelbagai pulau untuk mencari penghasilan dari sektor usaha kayu.
Banyaknya penduduk dan berlimpahnya keuangan mereka merupakan alasan keberadaan sarana hiburan yang mengutamakan pelayanan memikat para perempuan. Maka, para “pramuria jelita dan sopan” menjadi unsur utama yang harus ditulis dengan huruf kapital untuk menarik minat calon pengunjung.
Posisi MCC pun cukup strategis karena sangat dekat dengan Pelabuhan Samarinda, tempat berkumpulnya para pekerja di sektor perhubungan dan perdagangan. MCC juga mudah dijangkau karena berada di sentral kawasan perdagangan dan rekreasi kota. Lokasinya juga berdekatan dengan kompleks perbelanjaan Pinang Babaris.
Seiring dinamika sosial, kawasan THG yang dibangun sejak 1968 menjadi sarang prostitusi, perjudian, dan krimininalitas. Gubernur Kalimantan Timur, Soewandi, yang mulai menjabat 1983, mempertimbangkan bahwa Samarinda sebagai ibu kota provinsi tidak memiliki kewibawaan akibat kekumuhan dan penyakit sosial serta asusila di kawasan THG. Akhirnya, THG diratakan dengan tanah. Lantas, didirikanlah Kompleks Citra Niaga, sebuah pusat perbelanjaan dan rekreasi yang memadukan konsep modern dan kearifan lokal Kaltim.
Kini, pramuria merupakan kosakata asing bagi sebagian masyarakat. Para penggemar diskotik atau clubbers lebih familiar dengan ladies, perempuan berpakaian irit yang menemani pesta malam kaum lelaki. Bahasa iklan kelab malam pun tidak lagi beraroma jadul yang berbunyi, "Ladies jelita dan sopan yang cukup representatif".

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar