Jumat, 21 Desember 2018

Salah Kaprah Hari Ibu


Momentum Hari Ibu setiap 22 Desember belakangan berubah menjadi hari libur kaum ibu untuk urusan dapur dan rumah tangga. Pemaknaan Hari Ibu juga terbelok ketika orientasi industri mempraktikkan berbagai ajang kompetisi nasi tumpeng, lomba kebaya, dan tanding memasang dasi.


Perubahan zaman ke era digital dan media sosial juga menyeret propaganda publik. Masyarakat bersemangat mengekspos aneka foto yang mencitrakan dirinya berbakti kepada ibu. Ada yang foto bareng, lagi sungkem, atau memberi kado kepada ibunya. Pada satu sisi, hal ini terlihat baik. Tapi, secara hakikat bukan pada proporsinya.

Hari Ibu sesungguhnya bermakna peringatan spirit partisipasi perempuan dalam perjuangan dan pembangunan bangsa. Seremonial Hari Ibu kemudian tersesat ke arah pemaknaan Mothers Day, yang lebih ditujukan memberi puja-puji terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai "yang telah melahirkan dan menyusui", sebagai pengasuh anak, sumber kasih sayang, pemandu urusan domestik, dan pendamping suami.

Tanggal 22 Desember yang sejak 1959 diperingati di Indonesia sebagai Hari Ibu sebenarnya didasari misi pemerintah memberdayakan perempuan dalam membangun bangsa. Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 yang menetapkan tanggal pelaksanaan Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta (22 Desember 1928) sebagai Hari Ibu.

Peserta Kongres tersebut adalah para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara. Latar belakangnya adalah menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Isu yang dibahas antara lain persatuan perempuan Nusantara dan pelibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.

Memperingati Hari Ibu yang tepat adalah menunjukkan karya dan prestasi para perempuan yang positif. Sebagai contoh, Kalimantan Timur pernah memiliki tokoh perempuan yang terlibat dalam Komando Dwikora. Ia bernama Fatimah, istri Abdoel Moeis Hassan Gubernur Kaltim periode 1962–1966. Fatimah menjadi Komandan Sukarelawati Dwikora di Kaltim. Ia mempunyai keterampilan menggunakan senjata api sebagai persiapan perang versus Neo-Kolonialisme-Imperialisme (Nekolim).

Penulis: Muhammad Sarip


Tidak ada komentar:

Posting Komentar