Minggu, 15 September 2019

Habibie ke Samarinda Disambut Demo, Warga Tak Sadar Banyak Tentara dan Polisi di Rawa


Pengamaman superketat dipantau langsung di TKP oleh Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto. Aksi teror peledakan bom sudah terjadi delapan kali sejak Habibie menjadi presiden.


Bacharuddin Habibie menjabat presiden dalam tempo yang paling singkat dalam sejarah Republik. Hanya 17 bulan ia menjadi kepala negara menggantikan Presiden Soeharto. Di tengah situasi krisis nasional multimensi, ia dianggap hanya sebagai presiden transisi untuk mempersiapkan pemilu yang luber dan jurdil.


Tidak banyak kegiatan seremonial yang bisa dilakukan Habibie. Meskipun begitu, ada sebuah peristiwa yang mengondisikan Presiden Habibie harus memerhatikan Kaltim secara khusus setelah dua bulan menjadi kepala negara.

Hal itu terjadi ketika Samarinda dilanda musibah banjir sejak 31 Juli hingga 3 Agustus 1998. Banjir di ibu kota Kaltim tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Benua Etam karena luas permukiman yang tenggelam mencapai 2.084 hektar dengan kedalaman antara 30 cm hingga 3 meter. Korban terdampak banjir ini lebih dari 100 ribu jiwa.

Saat negara dalam kondisi terpuruk pasca kerusuhan besar di banyak kota pada dua bulan sebelumnya serta massifnya tuntutan lanjutan reformasi untuk mengadili Soeharto dll, Habibie tidak bisa langsung mengunjungi Samarinda. Bandara Temindung beserta empat pesawat yang parkir turut tenggelam. Presiden Habibie menyampaikan pernyataan prihatin atas bencana banjir di Kota Tepian.

Habibie kemudian mengutus dua pembantunya yakni Menko Kesra Haryono Suyono dan Menteri Sosial Yustika Baharsyah untuk meninjau lokasi banjir. Kedua menteri tersebut tiba di Samarinda pada 5 Agustus 1998 setelah perjalanan darat dari Bandara Sepinggan Balikpapan. Mereka berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kaltim dan Pemerintah Daerah Kotamadya Samarinda. Presiden Habibie menyalurkan bantuan 100 ton beras dan lauk-pauk kepada warga terdampak banjir.

Media massa kala itu memberitakan, Habibie menginstruksikan kepada semua pemda dan instansi terkait agar mewaspadai bahaya banjir yang bisa datang lebih cepat.

Setahun kemudian, Habibie akhirnya menjejakkan kaki di ibu kota Kalimantan Timur. Momen itu terjadi pada Kamis, 5 Agustus 1999.

Dengan menumpang helikopter, Habibie mendarat di teras pasar Perumahan Bengkuring sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Tengah. Total ada tiga helikopter yang beberapa saat sebelumnya terbang mengitari jalur Sungai Karang Mumus hingga Bendungan Benanga. Helikopter tersebut bertolak dari Bandara Sepinggan Balikpapan.

Habibie tidak datang sendiri. Istrinya, Hasri Ainun turut serta. Sejumlah menteri juga ikut rombongan termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) A.A. Baramuli. Menhankam merangkap Panglima TNI Jenderal Wiranto hadir langsung memastikan pengamanan.

Rombongan Presiden didampingi oleh Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah. Habibie kemudian meresmikan Perumahan Bengkuring Tepian Permai. Perumahan ini merupakan program relokasi permukiman warga bantaran Sungai Karang Mumus yang biayanya mencapai Rp240 miliar.

Dalam penjagaan superketat aparat, Presiden berdialog dengan warga. Dalam ingatan warga sebagaimana diceritakan kepada saya, Habibie menyampaikan permohonan maaf karena setahun sebelumnya ketika Samarinda dilanda banjir besar, ia tidak sempat berkunjung. Habibie kala itu mengutus dua pembantunya yakni Menko Kesra dan Mensos, selain menyalurkan bantuan beras 100 ton.

Tidak jauh dari lokasi peresmian, sejumlah warga Blok D dan E perumahan berdemonstrasi. Mereka menuntut persamaan hak fasilitas air untuk semua blok perumahan. Tetapi, aparat keamanan dapat memblokade aksi mereka sehingga tidak sampai ke hadapan Presiden.

Kedatangan mantan Menristek 20 tahun silam itu masih dalam suasana euforia reformasi. Tensi politik negeri masih panas karena baru saja menggelar pemilu multipartai pada dua bulan sebelumnya. Kala itu, Habibie dianggap sebagai representasi Orde Baru pengganti Soeharto.

Sejumlah mahasiswa juga berdemonstrasi di jalur masuk perumahan. Substansi tuntutan seputar reformasi dan otonomi daerah. Mereka ingin menemui presiden. Namun, aparat dapat menghalau pengunjuk rasa.

Saking ketatnya pengamanan, mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Bengkuring, disuruh pulang oleh aparat. TNI/POLRI tentu saja tidak mau mengambil risiko. Apalagi selama Habibie menjadi presiden hingga tiba di Samarinda, aksi peledakan bom di tempat umum sudah terjadi sebanyak delapan kali.

Acara Presiden berjalan lancar. Habibie juga melakukan peletakan batu pertama pembangunan Masjid Almuhajirin di Bengkuring. Rombongan lalu meninjau perumahan warga.

Habibie tidak menginap di Kota Tepian. Pukul 14.45 Wita rombongan kembali ke Sepinggan Balikpapan untuk melanjutkan kunjungan kerja ke Sulawesi Selatan.

Hal unik dari kedatangan Habibie ini adalah banyak warga yang tidak menyadari adanya pengamanan superketat. Seorang guru SMP Negeri 29 Bengkuring bernama Abdillah Syafei yang kala itu berada di perumahan mengaku, hanya melihat suasana yang meriah dan gembira. Ia tak melihat pengamanan yang terlalu ketat.

“Namun, selepas Pak Habibie dan rombongan meninggalkan kompleks perumahan, barulah saya sadar bahwa pengamanan saat itu sangat ketat. Rupanya sekeliling perumahan yang sangat luas itu sudah dikepung oleh aparat polisi dan TNI secara rahasia. Buktinya, setelah rombongan presiden tidak ada, ratusan atau bahkan ribuan aparat bermunculan dari balik pohon dan semak di sekitar kompleks.” Guru yang kini berdinas di Balaikota Samarinda itu menuturkan kesaksiannya kepada saya.

Sejak malam hingga selesai acara kunjungan presiden, polisi dan tentara itu sudah bersembunyi. Begitu keluar dari persembunyiannya di semak dan rawa, tampak pakaian mereka berlepotan lumpur. Dalam sekejap, perumahan sudah dipenuhi aparat militer dan kepolisian.

Berselang 20 tahun kemudian, Habibie menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Keesokan harinya, almarhum Bapak Teknologi Indonesia itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar