Pengamaman superketat dipantau langsung di TKP oleh Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto. Aksi teror peledakan bom sudah terjadi delapan kali sejak Habibie menjadi presiden.
Bacharuddin
Habibie menjabat presiden dalam tempo yang paling singkat dalam sejarah Republik. Hanya
17 bulan ia menjadi kepala negara menggantikan Presiden Soeharto. Di tengah
situasi krisis nasional multimensi, ia dianggap hanya sebagai presiden transisi
untuk mempersiapkan pemilu yang luber dan jurdil.
Tidak
banyak kegiatan seremonial yang bisa dilakukan Habibie. Meskipun begitu, ada
sebuah peristiwa yang mengondisikan Presiden Habibie harus memerhatikan Kaltim
secara khusus setelah dua bulan menjadi kepala negara.
Hal itu
terjadi ketika Samarinda dilanda musibah banjir sejak 31 Juli hingga 3 Agustus
1998. Banjir di ibu kota Kaltim tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah
Benua Etam karena luas permukiman yang tenggelam mencapai 2.084 hektar dengan
kedalaman antara 30 cm hingga 3 meter. Korban terdampak banjir ini lebih dari
100 ribu jiwa.
Saat
negara dalam kondisi terpuruk pasca kerusuhan besar di banyak kota pada dua bulan
sebelumnya serta massifnya tuntutan lanjutan reformasi untuk mengadili Soeharto
dll, Habibie tidak bisa langsung mengunjungi Samarinda. Bandara Temindung
beserta empat pesawat yang parkir turut tenggelam. Presiden Habibie
menyampaikan pernyataan prihatin atas bencana banjir di Kota Tepian.
Habibie
kemudian mengutus dua pembantunya yakni Menko Kesra Haryono Suyono dan Menteri
Sosial Yustika Baharsyah untuk meninjau lokasi banjir. Kedua menteri tersebut tiba
di Samarinda pada 5 Agustus 1998 setelah perjalanan darat dari Bandara
Sepinggan Balikpapan. Mereka berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kaltim
dan Pemerintah Daerah Kotamadya Samarinda. Presiden Habibie menyalurkan bantuan
100 ton beras dan lauk-pauk kepada warga terdampak banjir.
Media
massa kala itu memberitakan, Habibie menginstruksikan kepada semua pemda dan
instansi terkait agar mewaspadai bahaya banjir yang bisa datang lebih cepat.
Setahun
kemudian, Habibie akhirnya menjejakkan kaki di ibu kota Kalimantan Timur. Momen
itu terjadi pada Kamis, 5 Agustus 1999.
Dengan
menumpang helikopter, Habibie mendarat di teras pasar Perumahan Bengkuring
sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Tengah. Total ada tiga helikopter yang
beberapa saat sebelumnya terbang mengitari jalur Sungai Karang Mumus hingga
Bendungan Benanga. Helikopter tersebut bertolak dari Bandara Sepinggan
Balikpapan.
Habibie
tidak datang sendiri. Istrinya, Hasri Ainun turut serta. Sejumlah menteri juga
ikut rombongan termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) A.A. Baramuli. Menhankam
merangkap Panglima TNI Jenderal Wiranto hadir langsung memastikan pengamanan.
Rombongan
Presiden didampingi oleh Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah. Habibie kemudian
meresmikan Perumahan Bengkuring Tepian Permai. Perumahan ini merupakan program
relokasi permukiman warga bantaran Sungai Karang Mumus yang biayanya mencapai
Rp240 miliar.
Dalam
penjagaan superketat aparat, Presiden berdialog dengan warga. Dalam ingatan
warga sebagaimana diceritakan kepada saya, Habibie menyampaikan permohonan maaf
karena setahun sebelumnya ketika Samarinda dilanda banjir besar, ia tidak
sempat berkunjung. Habibie kala itu mengutus dua pembantunya yakni Menko Kesra
dan Mensos, selain menyalurkan bantuan beras 100 ton.
Tidak
jauh dari lokasi peresmian, sejumlah warga Blok D dan E perumahan
berdemonstrasi. Mereka menuntut persamaan hak fasilitas air untuk semua blok
perumahan. Tetapi, aparat keamanan dapat memblokade aksi mereka sehingga tidak
sampai ke hadapan Presiden.
Kedatangan
mantan Menristek 20 tahun silam itu masih dalam suasana euforia reformasi.
Tensi politik negeri masih panas karena baru saja menggelar pemilu multipartai
pada dua bulan sebelumnya. Kala itu, Habibie dianggap sebagai representasi Orde
Baru pengganti Soeharto.
Sejumlah
mahasiswa juga berdemonstrasi di jalur masuk perumahan. Substansi tuntutan
seputar reformasi dan otonomi daerah. Mereka ingin menemui presiden. Namun,
aparat dapat menghalau pengunjuk rasa.
Saking
ketatnya pengamanan, mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Bengkuring, disuruh pulang oleh aparat. TNI/POLRI tentu saja tidak mau
mengambil risiko. Apalagi selama Habibie menjadi presiden hingga tiba di
Samarinda, aksi peledakan bom di tempat umum sudah terjadi sebanyak delapan
kali.
Acara
Presiden berjalan lancar. Habibie juga melakukan peletakan batu pertama
pembangunan Masjid Almuhajirin di Bengkuring. Rombongan lalu meninjau perumahan
warga.
Habibie
tidak menginap di Kota Tepian. Pukul 14.45 Wita rombongan kembali ke Sepinggan
Balikpapan untuk melanjutkan kunjungan kerja ke Sulawesi Selatan.
Hal unik
dari kedatangan Habibie ini adalah banyak warga yang tidak menyadari adanya
pengamanan superketat. Seorang guru SMP Negeri 29 Bengkuring bernama Abdillah
Syafei yang kala itu berada di perumahan mengaku, hanya melihat suasana yang meriah dan
gembira. Ia tak melihat pengamanan yang terlalu ketat.
“Namun,
selepas Pak Habibie dan rombongan meninggalkan kompleks perumahan, barulah saya
sadar bahwa pengamanan saat itu sangat ketat. Rupanya sekeliling perumahan yang
sangat luas itu sudah dikepung oleh aparat polisi dan TNI secara rahasia.
Buktinya, setelah rombongan presiden tidak ada, ratusan atau bahkan ribuan
aparat bermunculan dari balik pohon dan semak di sekitar kompleks.” Guru yang
kini berdinas di Balaikota Samarinda itu menuturkan kesaksiannya kepada saya.
Sejak malam
hingga selesai acara kunjungan presiden, polisi dan tentara itu sudah bersembunyi.
Begitu keluar dari persembunyiannya di semak dan rawa, tampak pakaian mereka berlepotan
lumpur. Dalam sekejap, perumahan sudah dipenuhi aparat militer dan kepolisian.
Berselang
20 tahun kemudian, Habibie menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Keesokan harinya, almarhum Bapak
Teknologi Indonesia itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama
Kalibata Jakarta.
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar