Inilah satu-satunya orang Kalimantan yang hadir ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan Sukarno-Hatta di Jakarta.
Ia
satu-satunya orang Kalimantan yang menjadi saksi mata peristiwa mahapenting
dalam sejarah Indonesia. Ia juga satu-satunya urang Banjar yang terlibat dalam
rapat perumusan naskah Proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.
Spesial
bagi Kalimantan Timur, karena beliau pernah bersekolah tingkat dasar di
Samarinda. Beliau juga merintis karier sebagai wartawan kali pertama di pusat
pemerintahan Hindia Belanda di (Oost Borneo) Borneo Timur.
Hampir
satu abad yang lalu, tepatnya tahun 1923, di Samarinda terbit sebuah koran
mingguan bernama Perasaan Kita. Pada masa itu, remaja bernama Anang
Abdul Hamidhan sedang bersekolah di Europese Lagere School (ELS) di kota tepian
Sungai Mahakam.
Memasuki
tahun ke-4 penerbitan koran Perasaan Kita, A.A. Hamidhan tumbuh menjadi
pemuda 18 tahun yang berbakat dalam bidang tulis-menulis. Hamidhan pun bekerja
di surat kabar milik Anang Acil Kasuma Wira Negara itu.
Koran Perasaan
Kita berganti nama menjadi Bendahara Borneo. Tahun 1929 putra Banjar
kelahiran Rantau-Tapin ini menjadi pemimpin redaksi Bendahara Borneo.
Ketika
berusia 21 tahun, Hamidhan pindah ke Banjarmasin. Berturut-turut ia bekerja di
koran Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), hingga
Borneo Shimbun (1945).
Sebagai
jurnalis, Hamidhan menggunakan media massa untuk menyuarakan perjuangan pribumi
menentang kolonialisme. Akibatnya, putra Banjar kelahiran Rantau-Tapin ini tiga
kali dijebloskan Belanda ke jeruji besi.
Hamidhan
didakwa dan divonis melanggar delik pers. Tahun 1930 ia dipenjara 2 bulan di
Cipinang. Tahun 1932 ia meringkuk 1,5 bulan di penjara Banjarmasin. Tahun 1936
ia dikurung setengah tahun di Banjarmasin.
Berkat
rekam jejaknya sebagai jurnalis anti-Belanda, ia dipilih sebagai perwakilan
Kalimantan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk 7
Agustus 1945.
Tanggal
16 Agustus 1945 malam, naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dirumuskan di
rumah Laksamana Maeda. Pembahasan berlangsung sampai kalender berubah ke
tanggal 17.
Pukul 4
dinihari, naskah Proklamasi baru selesai diketik. Hamidhan dan peserta lain
menyempatkan sahur dari ruang makan yang disediakan Maeda. Waktu itu memang
bertepatan bulan Ramadan.
Usai
sahur, Hamidhan dan yang lainnya kembali ke ruang rapat. Bung Karno mengusulkan
agar naskah proklamasi ditandatangi oleh seluruh hadirin. Andai usulan ini
dilaksanakan, dapat dipastikan pada naskah Proklamasi tertera juga nama dan
tanda tangan Anang Abdul Hamidhan.
Jika saja
peserta pertemuan itu menyetujui usulan Bung Karno, niscaya akan ada nama dan
tanda tangan seorang Banjar dalam teks Proklamasi. Namun, para anggota PPKI dan
pemuda militan mencukupkan dengan hanya nama dan tanda tangan Sukarno-Hatta
pada naskah Proklamasi. Kedua tokoh ini bertindak sebagai proklamator atas nama
bangsa Indonesia.
Jumat, 17
Agustus 1945 pukul 10 pagi di Pegangsaan Timur 56 terjadilah peristiwa
monumental itu. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan Sukarno-Hatta.
A.A.
Hamidhan, satu-satunya orang Kalimantan, satu-satunya urang Banjar,
menyaksikannya langsung dari TKP.
Atas
jasanya sebagai anggota PPKI, pemerintah pusat bermaksud mengangkat Hamidhan
sebagai gubernur Provinsi Kalimantan ketika RepubIik Indonesia baru berdiri.
Namun, Hamidhan menolaknya. Ia memilih tetap berkiprah sebagai jurnalis.
Hamidhan
mengusulkan nama Pangeran Mohammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan. Presiden
Sukarno setuju. Pada 5 September 1945 Kalimantan yang masih satu provinsi besar
punya gubernur yang pertama, P.M. Noor. Keturunan Sultan Banjar ini kemudian
dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Adapun Hamidhan, melanjutkan kariernya di bidang pers sampai tahun 1961. Satu dari pendiri Republik ini tutup usia pada 1997. Pemerintah RI menganugerahi Bintang Mahaputra Pratama kepada Hamidhan.
Namanya
terpampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalam Imam Bonjol 1 Jakarta.
Daftar nomor 23: Anang Abdoel Hamidhan.
Penulis:
Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar