Minggu, 16 Agustus 2020

“Orang Samarinda” Saksi Proklamasi 1945 dari Kalimantan

Inilah satu-satunya orang Kalimantan yang hadir ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan Sukarno-Hatta di Jakarta.

Ia satu-satunya orang Kalimantan yang menjadi saksi mata peristiwa mahapenting dalam sejarah Indonesia. Ia juga satu-satunya urang Banjar yang terlibat dalam rapat perumusan naskah Proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.

 

Spesial bagi Kalimantan Timur, karena beliau pernah bersekolah tingkat dasar di Samarinda. Beliau juga merintis karier sebagai wartawan kali pertama di pusat pemerintahan Hindia Belanda di (Oost Borneo) Borneo Timur.

 

Hampir satu abad yang lalu, tepatnya tahun 1923, di Samarinda terbit sebuah koran mingguan bernama Perasaan Kita. Pada masa itu, remaja bernama Anang Abdul Hamidhan sedang bersekolah di Europese Lagere School (ELS) di kota tepian Sungai Mahakam.

 

Memasuki tahun ke-4 penerbitan koran Perasaan Kita, A.A. Hamidhan tumbuh menjadi pemuda 18 tahun yang berbakat dalam bidang tulis-menulis. Hamidhan pun bekerja di surat kabar milik Anang Acil Kasuma Wira Negara itu.

 

Koran Perasaan Kita berganti nama menjadi Bendahara Borneo. Tahun 1929 putra Banjar kelahiran Rantau-Tapin ini menjadi pemimpin redaksi Bendahara Borneo.

 

Ketika berusia 21 tahun, Hamidhan pindah ke Banjarmasin. Berturut-turut ia bekerja di koran Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), hingga Borneo Shimbun (1945).

 

Sebagai jurnalis, Hamidhan menggunakan media massa untuk menyuarakan perjuangan pribumi menentang kolonialisme. Akibatnya, putra Banjar kelahiran Rantau-Tapin ini tiga kali dijebloskan Belanda ke jeruji besi.

 

Hamidhan didakwa dan divonis melanggar delik pers. Tahun 1930 ia dipenjara 2 bulan di Cipinang. Tahun 1932 ia meringkuk 1,5 bulan di penjara Banjarmasin. Tahun 1936 ia dikurung setengah tahun di Banjarmasin.

 

Berkat rekam jejaknya sebagai jurnalis anti-Belanda, ia dipilih sebagai perwakilan Kalimantan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk 7 Agustus 1945.

Tanggal 16 Agustus 1945 malam, naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dirumuskan di rumah Laksamana Maeda. Pembahasan berlangsung sampai kalender berubah ke tanggal 17.

 

Pukul 4 dinihari, naskah Proklamasi baru selesai diketik. Hamidhan dan peserta lain menyempatkan sahur dari ruang makan yang disediakan Maeda. Waktu itu memang bertepatan bulan Ramadan.

 

Usai sahur, Hamidhan dan yang lainnya kembali ke ruang rapat. Bung Karno mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangi oleh seluruh hadirin. Andai usulan ini dilaksanakan, dapat dipastikan pada naskah Proklamasi tertera juga nama dan tanda tangan Anang Abdul Hamidhan.

 

Jika saja peserta pertemuan itu menyetujui usulan Bung Karno, niscaya akan ada nama dan tanda tangan seorang Banjar dalam teks Proklamasi. Namun, para anggota PPKI dan pemuda militan mencukupkan dengan hanya nama dan tanda tangan Sukarno-Hatta pada naskah Proklamasi. Kedua tokoh ini bertindak sebagai proklamator atas nama bangsa Indonesia.

 

Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi di Pegangsaan Timur 56 terjadilah peristiwa monumental itu. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan Sukarno-Hatta.

 

A.A. Hamidhan, satu-satunya orang Kalimantan, satu-satunya urang Banjar, menyaksikannya langsung dari TKP.

 

Atas jasanya sebagai anggota PPKI, pemerintah pusat bermaksud mengangkat Hamidhan sebagai gubernur Provinsi Kalimantan ketika RepubIik Indonesia baru berdiri. Namun, Hamidhan menolaknya. Ia memilih tetap berkiprah sebagai jurnalis.

 

Hamidhan mengusulkan nama Pangeran Mohammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan. Presiden Sukarno setuju. Pada 5 September 1945 Kalimantan yang masih satu provinsi besar punya gubernur yang pertama, P.M. Noor. Keturunan Sultan Banjar ini kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

 

Adapun Hamidhan, melanjutkan kariernya di bidang pers sampai tahun 1961. Satu dari pendiri Republik ini tutup usia pada 1997. Pemerintah RI menganugerahi Bintang Mahaputra Pratama kepada Hamidhan.

 

Namanya terpampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalam Imam Bonjol 1 Jakarta. Daftar nomor 23: Anang Abdoel Hamidhan.

________
*) Ringkasan sejarah ini disusun berdasarkan referensi buku “Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 1945” terbitan Sekretariat Negara RI (1995) dan penelitian Pak Wajidi (sejarawan Kalsel yang menjadi narasumber dalam seminar nasional kepahlawanan Abdoel Moeis Hassan di Samarinda 2019).

 

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar