Minggu, 05 Juli 2020

Mengadili Ulang Sultan Hamid II: Antara Pahlawan dan Pengkhianat

Oleh Muhammad Sarip

Ada yang berbeda dari webinar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) yang saya ikuti hari Minggu alias Ahad ini (5 Juli 2020). Selesai Zoom Meeting, peserta tidak otomatis akan mendapatkan e-sertifikat.

Rupanya panitia jeli melihat situasi. AGSI yang sudah lebih dari 30 kali mengadakan webinar selama pandemi Covid-19 tentu tidak ingin menjadi pabrik e-sertifikat. AGSI berusaha mencegah timbulnya para kolektor dan pemburu e-sertifikat yang tidak berfaedah bagi literasi.
Karena itu, cara mendapatkan e-sertifikat bagi peserta webinar kali ini adalah dengan menulis resume. Penulisan resume pun tidak main-main. Syaratnya minimal 1.500 kata. Ketentuan ini cukup efektif untuk mewujudkan gerakan literasi.

Saya bukan guru sejarah. E-sertifikat peserta webinar AGSI bagi saya tidak ada hubungannya dengan kenaikan pangkat profesi. Tapi, saya merasa perlu menulis resume dari webinar kali ini. Hal ini karena sejarah yang dibahas menyangkut lokalitas Kalimantan dan pengungkapan sejarah secara proporsional.

Dalam satu bulan mutakhir, konstelasi politik antara pusat dan daerah Kalimantan Barat agak terguncang. Pemicunya ketika seorang eks petinggi militer menyatakan bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.

Sejarawan anggota Tim Pengkaji dan Peneliti Gelar Tingkat Pusat (TP2GP), Dr. Anhar Gonggong, juga berpendapat senada. Dalam video yang viral pada bulan lalu, Anhar melontarkan pernyataan bahwa Sultan Pontianak tersebut tidak pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional. Di antara alasannya ialah Sultan Hamid II dituding sebagai kolega Westerling yang membantai 40.000 rakyat Sulawesi Selatan.

Berlatar polemik tersebut, AGSI mengadakan webinar bertajuk "Menguak Tabir Sultan Hamid II dalam Perjalanan Sejarah Bangsa".

Resume selengkapnya yang saya kirimkan kepada panitia bisa diunduh dari berkas PDF di bawah ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar