Minggu, 06 Desember 2015

Risalah Sidang BPUPKI 1945 dan Hubungannya dengan Samarinda Bahari

Penulis: Muhammad Sarip
Buku ini saya beli dengan harga sangat murah, cuma Rp 8.900,- tak sampai sepuluh ribu! Tipiskah? Tidak! Tebalnya 650 halaman! Jangan-jangan ada cacatnya? Tidak, isinya lengkap, kertas masih utuh, tak ada yang dilahap rayap, penjilidannya pun kuat.
Lantas, mengapa harganya bisa murah sekali? Ya, barangkali judulnya yang tidak cukup komersial untuk menarik minat sebagian orang. Tetapi, saya merasa beruntung bisa membelinya saat buku tersebut diobral dalam sebuah pameran buku di Jakarta, 26 September 2003.
Buku ini merupakan himpunan naskah pidato dalam persidangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) PPKI (Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berlangsung tanggal 28 Mei s.d. 22 Agustus 1945. Isinya bukan hanya notulen rapat, melainkan teks pidato dan pembicaraan/dialog Soekarno, Moh. Hatta, K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, K.H. Wachid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soepomo, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan puluhan para pendiri negara selama persidangan.
Apa menariknya buku yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI ini?
Yang memiliki atensi terhadap kesejarahan Samarinda akan memperoleh relevansinya terhadap buku ini.
Di dalamnya ada naskah pidato Muhammad Yamin, seorang Pahlawan Nasional yang ahli sejarah. Beliau gemar mempelajari manuskrip (naskah) kuno di antaranya Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang selesai ditulis pada tahun 1364 Masehi.
Apa hubungan kitab yang ditulis pada masa Raja Majapahit, Hayam Wuruk itu dengan sejarah Samarinda?
Nah, pada 31 Mei 1945 Muhammad Yamin mengemukakan pidato tentang rancangan wilayah teritorial Negara Indonesia. Berbekal pengetahuannya tentang kitab berbahasa Jawa Kuno tersebut, tokoh kelahiran Sumatra Barat itu mengusulkan agar negara Indonesia meliputi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sebagaimana yang disebutkan dalam kitab tersebut.
Di buku terbitan tahun 1995 itu pada halaman 57—58 dimuat naskah syair 13, 14, dan 15 dari Kitab Negarakertagama,
"Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ri Malayu ...Bartitw i Sawaku muwah ri Tabalung ri Tanjung Kute ...."
Demikianlah sekelumit hubungan antara sidang BPUPKI dengan sejarah Kutai dan Samarinda. Semoga bermanfaat.

Kemudian, di halaman 59—61 dimuat terjemahannya dengan judul "Tumpah Darah Nusantara (Indonesia) atau Daerah yang Delapan". Ketika menyebut "Tanjung Kute", Yamin menuliskannya sebagai "Tanjung Kutai".
Inilah korelasi antara sejarah Samarinda, Kutai, dan Majapahit. Ketika merekonstruksi sejarah Samarinda bahari (tempo dulu), pasti akan berkaitan dengan sejarah awal berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama. Perkampungan di wilayah Samarinda sejak abad ke-14 adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara. Sementara itu, Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan wilayah taklukan Kerajaan Majapahit, sebagaimana yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Tatanan sosial-budaya Jawa juga banyak yang diimplementasikan dalam Kerajaan Kutai seperti penggunaan nama keraton, nama raja, kesenian, peralatan musik tradisional, dll.
Samarinda sendiri pernah berstatus sebagai ibukota Daerah Istimewa Kutai dalam koridor NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) selama 4 tahun sejak 1953 hingga 1957.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar