Senin, 01 Oktober 2018

Fakta dan Hoax Seputar PKI di Kaltim


Kawasan sekitar Jalan Arief Rahman Hakim Samarinda tempo dulu dikenal sebagai bagian Kampung Sungai Pinang. Ada sebuah tugu unik di perempatan jalan di kawasan tersebut. Bentuknya adalah alat pertukangan dan pertanian, yakni palu dan arit. Letaknya di depan kantor sebuah partai politik besar kala itu. Awal 1966 tugu itu dihancurkan massa.

Massa yang emosi melampiaskan amarah karena mendapat kabar bahwa partai itu adalah sarangnya orang-orang yang tidak beragama dan anti-Tuhan. Partai itu juga dituduh sebagai dalang dan pelaku pembunuhan sadis para jenderal TNI Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 serta akan membinasakan semua orang yang taat beragama.


Hancurnya tugu palu-arit itu menandai awal runtuhnya hegemoni Partai Komunis Indonesia (PKI) di Samarinda khususnya dan di Kalimantan Timur secara umum. Para pengurus PKI Kaltim segera diciduk aparat keamanan. Ketuanya, Sayid Fachrul Baraqbah diajukan ke pengadilan subversi di Balikpapan. Hukuman mati dijatuhkan kepada bangsawan Kutai keturunan Arab itu pada persidangan tanggal 29 November 1966.

Para pejabat militer dan sipil daerah sangat antusias mengikuti perkembangan sidang atas terdakwa Fachrul. Vonis Fachrul diturunkan menjadi kurungan seumur hidup. Akhirnya ia dibebaskan pada era 1980-an karena tak benar-benar terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Fachrul yang keturunan habib itu tetaplah seorang yang beragama (riwayat ketua PKI Kaltim ini telah diuraikan dalam tulisan berjudul “PKI di Benua Etam dan Tumbalnya”, yang dimuat Tribun Kaltim edisi Senin, 1 Oktober 2018).

Nasib yang menimpa Fachrul hanyalah segelintir dari sejumlah kasus yang terjadi pada pengurus dan anggota PKI serta orang-orang yang yang dicap sebagai antek komunis. Pengurus, anggota, simpatisan PKI atau anggota organisasi terafiliasi PKI—walaupun tidak tahu-menahu soal G30S, digeneralisasi sebagai orang-orang ateis yang wajar bahkan wajib dibinasakan.

Lebih fatal dari itu, para pendukung atau simpatisan Bung Karno pun terkena imbasnya. Presiden Sukarno diisukan terlibat G30S dan dianggap sebagai pembela atau pelindung PKI. Maka, para pengikut setia Bung Karno yang menjadi pejabat daerah turut disingkirkan melalui kekuatan fisik.

Kasus berhentinya Abdoel Moeis Hassan sebagai Gubernur Kaltim pada 14 September 1966 bermula dari demonstrasi massa yang menuntutnya mundur. Pada Mei 1966 sekelompok massa menghunus dan mengacungkan parang sembari meneriakkan yel-yel “Gantung Moeis Hassan!”

Massa menuduh Moeis Hassan sebagai antek PKI dengan menjadi pengurus PNI Osa Maliki-Surachman (PNI-Asu), yakni kelompok PNI yang dianggap dekat dengan PKI. Tuduhan itu tidak terbukti karena PNI di Kaltim ternyata berpihak kepada PNI-Ali Sastroamidjojo yang nonkomunis. Menteri Dalam Negeri Mayjen Basuki Rahmat, seorang militer kepercayaan Soeharto, menyarankan Moeis Hassan agar menunda pengunduran dirinya karena masa jabatannya masih tersisa satu tahun. Akan tetapi, Moeis Hassan bersikukuh untuk mundur karena situasi tidak kondusif untuk bekerja menjalankan pemerintahan.

Adagium lama bahwa “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan” kembali terbukti. Hoax yang menimpa Moeis Hassan cukup membunuh karier politik pejuang Republiken itu. Segala jasa dan prestasi Moeis Hassan bagi daerah dan Republik seakan hilang ditelan bumi.

Tulisan ini tidak bermaksud sebagai pembenaran atau pembelaan terhadap PKI dan ideologinya yang dilarang di NKRI berdasarkan Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966. Tak bisa dipungkiri, sebelum tragedi 1 Oktober 1965, massa dan organ PKI terlibat dalam aksi-aksi anarkis yang sampai menumpahkan darah lawannya. Akan tetapi, penulis ingin mendudukkan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, penegakan hukum, anti-radikalisme, serta anti-anarkisme berlaku secara universal.

Membaca, mempelajari, dan memahami sejarah bukanlah langkah mundur. Melihat sejarah bukanlah sekadar menengok masa lampau atau membongkar luka lama. Belajar dari sejarah bisa memperbaiki karakter masyarakat dari kefakiran literasi. Tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pun bisa terwujud.

Sejarah, sebagaimana dikatakan sejarawan Slamet Muljana, ibarat bercermin di kaca benggala. Dengan membaca masa lampau, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang berguna bagi penentuan langkah di masa kini dan mendatang. Sejarah tidak bisa dipandang secara hitam-putih atau sekadar mencari benar-salah. Penulisan sejarah juga tidak bermaksud sebagai pengadilan atas peristiwa masa silam. Fakta-fakta masa lalu yang terungkap dari historiografi, entah positif atau negatif, dapat menjadi monumen teladan dan sekaligus rambu peringatan dalam kehidupan umat manusia.

Penulis: Muhammad Sarip*

*) Tulisan ini telah dimuat dalam Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Selasa, 2 Oktober 2018, halaman 10.

Artikel Terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar