Kawasan sekitar Jalan Arief Rahman Hakim Samarinda tempo dulu
dikenal sebagai bagian Kampung Sungai Pinang. Ada sebuah tugu unik di
perempatan jalan di kawasan tersebut. Bentuknya adalah alat pertukangan dan
pertanian, yakni palu dan arit. Letaknya di depan kantor sebuah partai politik
besar kala itu. Awal 1966 tugu itu dihancurkan massa.
Massa yang emosi melampiaskan amarah karena mendapat kabar bahwa
partai itu adalah sarangnya orang-orang yang tidak beragama dan anti-Tuhan.
Partai itu juga dituduh sebagai dalang dan pelaku pembunuhan sadis para
jenderal TNI Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 serta akan membinasakan semua
orang yang taat beragama.
Hancurnya tugu palu-arit itu menandai awal runtuhnya hegemoni
Partai Komunis Indonesia (PKI) di Samarinda khususnya dan di Kalimantan Timur
secara umum. Para pengurus PKI Kaltim segera diciduk aparat keamanan. Ketuanya,
Sayid Fachrul Baraqbah diajukan ke pengadilan subversi di Balikpapan. Hukuman mati
dijatuhkan kepada bangsawan Kutai keturunan Arab itu pada persidangan tanggal
29 November 1966.
Para pejabat militer dan sipil daerah sangat antusias mengikuti
perkembangan sidang atas terdakwa Fachrul. Vonis Fachrul diturunkan menjadi
kurungan seumur hidup. Akhirnya ia dibebaskan pada era 1980-an karena tak
benar-benar terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Fachrul yang keturunan
habib itu tetaplah seorang yang beragama (riwayat ketua PKI Kaltim ini telah
diuraikan dalam tulisan berjudul “PKI di Benua Etam dan Tumbalnya”, yang dimuat
Tribun Kaltim edisi Senin, 1 Oktober 2018).
Nasib yang menimpa Fachrul hanyalah
segelintir dari sejumlah kasus yang terjadi pada pengurus dan anggota PKI serta
orang-orang yang yang dicap sebagai antek komunis. Pengurus, anggota,
simpatisan PKI atau anggota organisasi terafiliasi PKI—walaupun tidak
tahu-menahu soal G30S, digeneralisasi sebagai orang-orang ateis yang wajar
bahkan wajib dibinasakan.
Lebih fatal dari itu, para pendukung atau
simpatisan Bung Karno pun terkena imbasnya. Presiden Sukarno diisukan terlibat
G30S dan dianggap sebagai pembela atau pelindung PKI. Maka, para pengikut setia
Bung Karno yang menjadi pejabat daerah turut disingkirkan melalui kekuatan
fisik.
Kasus berhentinya Abdoel Moeis Hassan
sebagai Gubernur Kaltim pada 14 September 1966 bermula dari demonstrasi massa
yang menuntutnya mundur. Pada Mei 1966 sekelompok massa menghunus dan
mengacungkan parang sembari meneriakkan yel-yel “Gantung Moeis Hassan!”
Massa menuduh Moeis Hassan sebagai antek
PKI dengan menjadi pengurus PNI Osa Maliki-Surachman
(PNI-Asu), yakni kelompok PNI yang dianggap dekat dengan PKI. Tuduhan itu tidak
terbukti karena PNI di Kaltim ternyata berpihak kepada PNI-Ali Sastroamidjojo
yang nonkomunis. Menteri Dalam Negeri Mayjen Basuki Rahmat, seorang militer kepercayaan Soeharto, menyarankan Moeis Hassan agar menunda pengunduran dirinya karena masa
jabatannya masih tersisa satu tahun. Akan tetapi, Moeis Hassan bersikukuh untuk mundur karena situasi tidak
kondusif untuk bekerja menjalankan pemerintahan.
Adagium lama bahwa “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan” kembali
terbukti. Hoax yang menimpa Moeis Hassan cukup membunuh karier politik
pejuang Republiken itu. Segala jasa dan prestasi Moeis Hassan bagi daerah dan
Republik seakan hilang ditelan bumi.
Tulisan ini tidak bermaksud sebagai pembenaran atau pembelaan
terhadap PKI dan ideologinya yang dilarang di NKRI berdasarkan Ketetapan MPRS
No. 25 Tahun 1966. Tak bisa dipungkiri, sebelum tragedi 1 Oktober 1965, massa
dan organ PKI terlibat dalam aksi-aksi anarkis yang sampai menumpahkan darah
lawannya. Akan tetapi, penulis ingin mendudukkan persoalan ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, penegakan hukum, anti-radikalisme,
serta anti-anarkisme berlaku secara universal.
Membaca, mempelajari, dan memahami sejarah bukanlah langkah mundur.
Melihat sejarah bukanlah sekadar menengok masa lampau atau membongkar luka lama.
Belajar dari sejarah bisa memperbaiki karakter masyarakat dari kefakiran
literasi. Tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pun bisa terwujud.
Sejarah, sebagaimana dikatakan sejarawan Slamet
Muljana, ibarat bercermin di kaca benggala. Dengan membaca
masa lampau, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang berguna bagi
penentuan langkah di masa kini dan mendatang. Sejarah tidak bisa dipandang
secara hitam-putih atau sekadar mencari benar-salah. Penulisan sejarah juga
tidak bermaksud sebagai pengadilan atas peristiwa masa silam. Fakta-fakta masa
lalu yang terungkap dari historiografi, entah positif atau negatif, dapat
menjadi monumen teladan dan sekaligus rambu peringatan dalam kehidupan umat
manusia.
Penulis:
Muhammad Sarip*
*) Tulisan ini telah dimuat dalam
Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Selasa, 2 Oktober 2018, halaman
10.
Artikel Terkait:
Artikel Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar