“Kakek saya simpatisan Masyumi, dikejar-kejar orang PKI, mau
dibunuh.” Seorang teman menceritakan pengalaman hidup kakeknya tahun 1965
kepada penulis. “Alhamdulillah, kakek saya selamat dalam persembunyian,”
lanjutnya.
Lain lagi dengan kisah teman yang lain. “Kakek saya dulu petani.
Pas dekat Pemilu 1971 ada partai yang membagikan bibit disertai brosur. Kakek
saya lalu diciduk aparat dan ditahan selama sebulan. Kakek saya dituduh
simpatisan PKI. Tapi akhirnya dibebaskan karena kakek saya sama sekali tidak
pernah ikut PKI atau organ sayapnya.”
Dua kisah di atas hanya segelintir dari sekian kasus yang terjadi
di negeri ini pada sebelum dan sesudah Gerakan 30 September 1965. Sewindu
sebelum G30S bagi Partai Komunis Indonesia adalah hegemoni dan kejayaan.
Tetapi, tahun-tahun sesudah G30S bagi PKI adalah keruntuhan.
Tema PKI dan komunisme dalam konteks nasional sudah terlalu banyak
yang membahasnya. Karenanya, penulis lebih fokus pada konteks lokal Kalimantan
Timur.
Berdasarkan
pemilu DPRD pada Februari 1958, PKI Kaltim memiliki tiga kursi keanggotaan di
DPRD Provinsi. Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Kaltim yakni Sayid Fachrul
Baraqbah, meraih jabatan wakil ketua
DPRD. Fachrul adalah bangsawan Kutai keturunan Arab. Ia mempunyai dua saudara
laki-laki bernama Aji Raden Sayid Mochsen Baraqbah (aktivis
PNI) dan Sayid Gasim Baraqbah (Aktivis NU).
Terlepas dari misteri dan kontroversi G30S, yang jelas isu terkait
PKI di Kaltim—sebagaimana di Pulau Jawa—juga meminta tumbal. Para pengurus PKI
Kaltim segera diciduk aparat keamanan. Sayid Fachrul Baraqbah diajukan ke
pengadilan subversi di Balikpapan.
Majelis hakim dalam persidangan yang ke-10 tanggal 29 November 1966
menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Fachrul. Namun, Fachrul tak segera
dieksekusi mati. Vonis hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup karena ia
tidak terlibat langsung dalam G30S. Fachrul yang menanggalkan gelar Aji Raden
itu dikurung dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta.
Dalam penjara, aktivis mahasiswa yang ditahan pemerintah karena
demonstrasi anti-Jepang 1974 menyaksikan keberadaan Fachrul. Sesuai latar
belakangnya sebagai seorang habib, Fachrul beraktivitas unik dengan memberikan
pelajaran bahasa Arab kepada sesama penghuni penjara.
Hukuman pidana seumur hidup tidak benar-benar dijalani Fachrul. Pria
kelahiran 1925 itu dianggap tidak terlibat secara langsung dalam G30S.
Kesalahannya ‘hanya’ sebagai pengurus partai politik terlarang (sejak 12 Maret
1966) tingkat daerah. Fachrul tetaplah seorang yang beragama. Ia bergabung
dengan PKI karena baginya partai berlambang palu-arit itu memperjuangkan
kesejahteraan rakyat, anti-kapitalis asing, anti-neokolonisme-imperialisme.
Sesungguhnya pengikut PKI tidak otomatis linier menjadi tidak
beragama (ateis). Fachrul tetaplah bergaul dan menghadiri acara-acara keagamaan
di masyarakat. “Biar begini, saya ini masih keturunan Nabi,” seloroh Fachrul
kala itu, sebagaimana dituturkan Kasim (nama samaran), informan berusia 82
tahun, kepada penulis.
Pada dekade 1980-an, Fachrul sudah bebas dan tinggal di Samarinda
Seberang. Beberapa waktu kemudian, pria yang pernah menjadi pejuang Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada masa Revolusi Kemerdekaan itu wafat.
Takdir yang menimpa Fachrul hanyalah
segelintir dari sejumlah kasus yang terjadi pada pengurus dan anggota PKI serta
orang-orang yang yang dicap sebagai antek komunis. Desas-desus bahwa
orang-orang PKI yang tidak berketuhanan itu mempersiapkan alat pencungkil mata,
cukup meresahkan dan membangkitkan emosi masyarakat. Massa pun tergerak melakukan
persekusi terhadap orang yang distigmakan PKI.
Lebih fatal dari itu, para pendukung atau
pengagum Bung Karno pun terkena imbasnya. Presiden Sukarno diisukan terlibat
G30S dan dianggap sebagai pembela atau pelindung PKI. Maka, para pengikut setia
Bung Karno yang menjadi pejabat daerah turut disingkirkan melalui kekuatan
fisik.
Tulisan ini tidak bermaksud sebagai pembenaran atau pembelaan
terhadap PKI dan ideologinya yang dilarang di NKRI berdasarkan Ketetapan MPRS
No. 25 Tahun 1966. Tak bisa dipungkiri, sebelum tragedi 1 Oktober 1965, massa
dan organ PKI terlibat dalam aksi-aksi anarkis yang sampai menumpahkan darah
lawannya. Akan tetapi, penulis ingin mendudukkan persoalan ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, penegakan hukum, anti-radikalisme,
serta anti-anarkisme berlaku secara universal.
Kegiatan literasi dalam lingkup kesejarahan bukanlah sekadar menengok
masa lampau atau membongkar luka lama. Belajar dari sejarah dapat mewujudkan tujuan
negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks masa kini, belajar
sejarah secara komprehensif dapat menjaga persatuan bangsa dan memperkokoh
Bhinneka Tunggal Ika.
Penulis:
Muhammad Sarip*
*)
Tulisan ini telah dimuat dalam Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Senin, 1
Oktober 2018, halaman 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar