Senin, 19 November 2018

Berau Seminarkan Raja Alam Jadi Pahlawan Nasional, Syarat Belum Lengkap

Raja Alam diyakini masyarakat Berau pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1834. Pemimpin Kesultanan Sambaliung bergelar Sultan Alimuddin itu kemudian tertangkap dan dibuang ke Makassar pada tahun tersebut. 

Senin, 19 November 2018 Pemerintah Kabupaten Berau mengadakan seminar nasional untuk membahas usulan Raja Alam sebagai Pahlawan Nasional. Seminar ini merupakan yang kedua kalinya setelah seminar yang pertama 15 tahun silam. 


Menurut informasi dari Pemkab Berau sebagaimana disitir satu media massa pada 21 Maret 2017, usulan sudah pernah diajukan kepada pemerintah pusat pada tahun 1991. Namun, usulan itu tertolak karena dianggap tidak memenuhi satu di antara syarat gelar Pahlawan Nasional yakni tidak pernah menyerah kepada musuh dalam perjuangan. Kala itu, ada pernyataan dari pihak Perpustakaan Nasional yang menyebut Raja Alam sempat mendukung Belanda saat menduduki wilayah Berau. 

Seminar 2018 ini menghadirkan empat narasumber dari pusat dan daerah, yaitu Dr. Sri Margana (Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada), Afni, S.H., M.Si. (staf Kementerian Sosial RI), dan Abdul Khair serta Datu Edy Fachriadi (staf Dinas Sosial Kaltim). 

Informasi bahwa Raja Alam pernah menyerah kepada Belanda kembali dikemukakan beberapa peserta seminar. Namun, pihak kerabat kesultanan mempertanyakan sumbernya dari mana dan apakah bisa menunjukkannya. Penanya tersebut tidak bisa menyebut nama sumbernya. Kalangan dari Sambaliung menjawab, memang pernah mendengar tentang info Raja Alam tersebut, tapi tidak pernah melihat sumbernya, baik itu sumber asli atau terjemahan. 

Pejabat Dinas Sosial Kabupaten Berau menyatakan akan melanjutkan usulan Pahlawan Nasional bagi Raja Alam ke Pemerintah Provinsi Kaltim dan meminta rekomendasi. Namun, menurut narasumber seminar, syarat-syarat usulan masih kurang seperti buku biografi dan literatur. 

Afni yang menjabat Kasubdit Penghargaan dan Tunjangan Kesejahteraan Keluarga dan Perintis Kemerdekaan Kemensos RI mengungkapkan, "Buku yang saya baca, sejarah Raja Alam hanya tiga halaman." 

"Kalau masih tanggung-tanggung, belum lengkap, saran saya jangan tahun ini diusulkan," imbuh Afni. 

SejarahKaltim.com mengonfirmasi kepada narasumber mengenai buku yang dimaksud. Narasumber kemudian menunjukkan salinan (fotokopi) buku berukuran kuarto (A4) berjudul Sejarah Perjuangan Raja Alam (Sultan Alumuddin) yang ditulis oleh Muhammad Noor, ARS.

Dari perpustakaan Lasaloka-KSB, SejarahKaltim.com menelusuri buku Kroniek der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo karya Johan Eisenberger tahun 1936 yang memuat sekilas kiprah Raja Alam. Pada halaman 22 tertulis catatan sebagai berikut.

1837: 24 Juni: De verbannen sultan van Sambalioeng legt den eed van trouw af, waarna hy hersteld wordtals sultan van Sambalioeng; echter heeft hy zich te beschouwen als vazal van den sultan van Goenoeng Taboer. Hieraan houdt hy zich evenwel niet tot machtelooze spyt van den sultan Goenoeng Taboer.
Terjemahan Indonesia-nya, 
24 Juni 1837: Sultan Sambaliung mengambil sumpah kesetiaan, setelah itu ia dikembalikan sebagai sultan Sambaliung; Namun, ia menganggap dirinya sebagai bawahan sultan Gunung Tabur. Tapi, ia tidak menjaga dirinya untuk takluk kepada sultan Gunung Tabur.


Sementara itu, buku Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa terbitan Pemrov Kaltim (1992: 73) menulis bahwa pada tahun 1837 Kesultanan Sambaliung mengakui kedaulatan Belanda. Dua kutipan penting tersebut luput dari pembahasan seminar di Tanjung Redeb ini.


Penulis: Arief Rahman
Editor: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar