Forum diskusi publik digelar untuk menandai peristiwa bersejarah ini. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh entitas literasi publik SUMBU TENGAH bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul dan Lasaloka-KSB. Tujuannya tak sekadar mengenang, tetapi juga mengkritisi posisi Kalimantan Timur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hadir sebagai keynote speaker, Aji Mirni Mawarni, anggota DPD dan MPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Timur. Ia didampingi tiga narasumber lain: Muhammad Sarip, penulis buku Histori Kutai; Aji Muhammad Mirza Wardana, Petinggi Pore Sempekat Keroan Kutai; serta Muhammad Azmi, dosen Pendidikan Sejarah Unmul. Diskusi dipandu oleh Rusdianto, founder SUMBU TENGAH.
Acara yang dihadiri puluhan mahasiswa, dosen, guru, pegiat budaya, dan pejabat dinas ini dibuka dengan sambutan Rektor Universitas Mulawarman Prof. Abdunnur yang diwakili Prof. Lambang Subagiyo selaku Wakil Rektor I dan didampingi Dekan FKIP Prof. Susilo. Tugas pewara dijalankan oleh Jacinta Maharani Mulawarman, Duta Bahasa Kaltimtara 2025.
Dalam paparannya, Mawar yang merupakan keturunan Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman menegaskan perlunya penulisan sejarah yang bersandar pada sumber valid. Ia membagikan buku Histori Kutai kepada seluruh peserta hingga acara usai. Buku yang terbit pada 2023 itu dilengkapi epilog dari sejarawan Prof. Asvi Warman Adam.
“Sebagai orang Kutai, saya merasa perlu meluruskan sejarah Kutai yang banyak simpang siur di masyarakat. Saya dan adik saya memfasilitasi Mas Sarip untuk menulis ulang sejarah ini, dengan membuka akses lebih luas ke arsip di ANRI dan sumber lisan dari para sepuh kerabat Sultan Kutai,” kata Mawar.
Ia juga menilai, momentum 200 tahun perjanjian Kutai-Belanda bisa menjadi pengingat bagi pemerintah pusat.
“Dulu, Kesultanan Kutai menjalin kontrak kerja sama dengan Belanda. Tapi di zaman NKRI, hasil sumber daya alam Kaltim lebih banyak dinikmati di Jakarta, sementara masyarakat Kaltim justru banyak yang belum merasakan pembangunan,” tegasnya.
Dari kiri: Rusdianto, Lambang Subagiyo, Aji Mirni Mawarni, Susilo, Aji Muhammad Mirza Wardana, Muhammad Sarip (Foto: Noviannur) |
Sejarawan publik Muhammad Sarip menambahkan bahwa sejarah Kutai dan Kalimantan Timur kerap terpinggirkan dalam narasi nasional yang cenderung berpusat di Pulau Jawa.
“Pemerintah pusat lebih memberi sorotan pada peringatan 200 tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro, yang dirayakan sebulan penuh di Jakarta, dari 20 Juli hingga 20 Agustus 2025,” ujarnya.
Sarip menjelaskan, hubungan resmi Kutai dan Hindia Belanda bermula pada 8 Agustus 1825. George Muller, utusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, datang ke Tenggarong untuk menandatangani perjanjian dengan Sultan Aji Muhammad Salihuddin.
“Kesepakatan sepuluh pasal ini dibuat tanpa didahului konflik bersenjata, sehingga jelas relasinya tidak diawali kekerasan,” ungkapnya.
Aji Muhammad Mirza Wardana menegaskan bahwa isi perjanjian Kutai-Belanda 1825 tidak menunjukkan adanya penjajahan.
“Sultan Kutai tentu mempertimbangkan secara matang untung rugi sebelum menyepakati perjanjian itu,” katanya.
Kegiatan di Gedung Dekanat FKIP Unmul turut menayangkan visual naskah asli perjanjian yang telah didigitalisasi oleh Sarip. Naskah beraksara Arab Melayu itu dibacakan oleh Azmi, yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren.
“Kalau kita perhatikan isi sepuluh perkara dalam perjanjian, ini lebih seperti kontrak perdagangan daripada penjajahan,” jelas Azmi, yang pernah menjabat Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul.
Sementara itu, Rusdianto menekankan pentingnya langkah proaktif dari masyarakat untuk menghidupkan sejarah lokal.
“Kita tidak bisa menunggu pusat mengakui sejarah kita. Angka 200 tahun ini istimewa dan tidak akan terulang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Peringatan berikutnya baru terjadi pada 250 tahun di 2075,” ujarnya.
“Sejarah lokal tak boleh hanya jadi seremoni. Ia harus hidup di tengah publik lewat ruang-ruang kritis,” sebut Rusdi. (AR)
![]() |
Sesi tanya jawab Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825 di Kampus FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, 8 Agustus 2025; dari kiri: Artha Mulya (Dewan Budaya Nusantara Kaltim), Sri Wahyuningdiah (ASN), Sainal (dosen PPS FKIP Unmul). (Foto: Muhammad Fajar Saputra) |
Berita & Info lainnya:
- Lomba Karya Tulis Sejarah dan Kebudayaan Kota Samarinda Berhadiah 20 Juta
- Doktrin Agama dan Pilihan Hidup Versi Ermioni
- Ermioni Vlachidou dari Yunani
- Hari Kartini 2025 Diperingati dengan Bedah Buku Aminah Syukur
- Bedah Buku Aminah Syukur, Hari Kartini 2025 di Perpustakaan Kaltim
- Disdikbud Buka Pendaftaran Peserta Lokakarya Penulisan Karya Sejarah dan Adat Tradisi 2025
- Menilik Sejarah Dwifungsi ABRI di Benua Etam
- Kutai Kartanegara: Jejak Sejarah Islam dan Budayadi Kalimantan Timur | Ensiklopedia Islam
- Temuan 8 Toponimi Samarinda
- UIN Jambi Diskusikan Buku Histori Kutai dan IKN
- Deputi OIKN Myrna Safitri Bahas Sejarah dan Lingkungan di IKN-Talk UINSI
- Ngaji Nusantara BEM PTNU Se-Kalimantan Hadirkan Sejarawan dan Akademisi Bahas IKN
- Pimpinan OIKN dan Rektor Unmul Launching Buku Historipedia Kalimantan Timur Karya Sarip dan Nanda
- Talk Show HUT Ke-67 Kaltim Bahas Sejarah Kepahlawanan
- Launching Buku Historipedia Kalimantan Timur di Unmul
Buku Histori Kutai Dibedah Sejarawan BRIN, Senator Kaltim dan Anak Muda Samarinda- Tim Komunikasi Presiden Adakan FGD Sejarah Kutai di Setneg
- Otorita IKN Bahas Kearifan Lokal Kaltim di Jakarta
- Mahasiswa dari Luar Kaltim Belajar Sejarah Kaltim dan IKN
- Lokakarya Unmul Susun Buku Ajar ISBD untuk Semua Fakultas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar