Rabu, 19 Juni 2019

Dicalonkan Gubernur, Malah Ajukan Calon Lain


Teladan Moeis Hassan dalam Sejarah Politik Kaltim

Bukannya langsung bersedia, ia malah mengajukan kandidat lain. Itu dilakukan Abdoel Moeis Hassan ketika para anggota DPRD Kaltim tahun 1962 hendak mengusung dirinya sebagai calon gubernur pengganti A.P.T. Pranoto.


“Apa tidak sebaiknya kalau I.A. Moeis yang dicalonkan agar namanya terehabilitir?” Moeis Hassan menyarankan kepada teman-temannya sesama pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada 1959 I.A. Moeis pernah menjadi Kepala Daerah (bukan gubernur) tapi kurang dari 3 bulan. Kala itu, pengusaha pelayaran tersebut diberhentikan oleh DPRD bersamaan dengan mosi tidak percaya atas Dewan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur.

Perlu diketahui, Kaltim tempo dulu punya dua tokoh Moeis yang terkenal. Keduanya orang Samarinda, tapi berbeda sikap dalam perjuangan menghadapi Belanda. Inche Abdoel (I.A.) Moeis lebih dikenal sebagai nama rumah sakit di Samarinda Seberang. Adapun Abdoel Moeis Hassan merupakan pemimpin pejuang pro-RI yang namanya sedang diproses sebagai kandidat tunggal nama Jembatan Mahulu.

Saran Moeis Hassan untuk mengajukan calon lain ditolak teman-temannya. Presiden Sukarno pun menetapkan Moeis Hassan sebagai Gubernur Kaltim pada melalui Keppres tertanggal 30 Juni 1962.

Moeis Hassan memang pribadi yang rendah hati dan tidak ambisius dalam politik. Pada 1954 ia memimpin Kongres Rakyat Kaltim. Agendanya menyuarakan tuntutan kepada pemerintah pusat agar Kaltim dijadikan provinsi tersendiri. Saat itu, status Kaltim adalah sebuah wilayah keresidenan (setingkat kabupaten) di bawah Provinsi Kalimantan yang beribu kota di Banjarmasin.

Dua tahun setelah kongres itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 25 tahun 1956 yang memekarkan Provinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi. Satu di antaranya adalah Provinsi Kalimantan Timur. Perjuangan Moeis Hassan berhasil.

Dikomparasikan dengan situasi abad ke-21, lazimnya pentolan tim sukses pemekaran suatu wilayah akan menjadi kandidat utama kepala daerah tersebut. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Moeis Hassan. Ia tidak pernah meminta jabatan gubernur ketika Kaltim diresmikan sebagai provinsi pada 1957.

Begitu pula saat sekelompok demonstran pro-Orde Baru menuntut Moeis mundur sebagai gubernur pada 1966. Ia tidak berupaya mempertahankan jabatan tersebut. Padahal, tuntutan tersebut hanya didasari tuduhan yang terbukti. Moeis dituding sebagai pengurus PNI yang pro-PKI. Faktanya berlawanan. Menteri Dalam Negeri Basuki Rahmat pun tetap meminta Moeis bertahan hingga periode gubernur selesai tahun 1967. Namun, Moeis tetap mengambil keputusan untuk mundur.

Figur yang tanpa pamrih itu hampir dilupakan masyarakat. Personel pemerintah daerah pun lebih mengenal nama I.A. Moeis karena menjadi nama RSUD dan punya keturunan yang aktif di partai politik. Namun, kini mutiara terpendam itu telah terangkat. Kemilaunya memancarkan teladan dan spirit perjuangan tanpa batas.

Pahala pengabdian Moeis Hassan berbuah kebaikan. Masyarakat bersama Pemerintah Kota Samarinda bersiap menyambut calon Pahlawan Nasional pertama dari Kaltim. Seminar Nasional sebagai pelengkap syarat administrasi pengusulan gelar Pahlawan Nasional akan diadakan di Samarinda, 25 Juni 2019.

Kita semua berutang jasa pada Abdoel Moeis Hassan, pelopor keteladanan politik bermoral di Benua Etam.

Penulis: Muhammad Sarip
(Koordinator Tim Pengusul Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan)

Tulisan diterbitkan kali pertama di Surat Kabar Harian Samarinda Pos edisi Kamis, 20 Juni 2019, halaman 9 dan 15.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar