Senin, 06 September 2021

Belajar dari Sejarah 140 Tahun Carl Bock ke Samarinda

Tanggal 16 Juli 2019, tepat 140 tahun silam Samarinda dikunjungi Carl Bock. Nama Carl Bock tersohor sebagai penulis buku legendaris mengenai penduduk Pulau Kalimantan. Buku itu fenomenal karena judulnya yang horor, yakni The Head-Hunters of Borneo alias Para Pemburu Kepala Kalimantan. Bukunya terbit di London pada 1882 atau tiga tahun usai ekspedisinya ke Pulau Kalimantan.

Carl Bock penjelajah berkebangsaan Norwegia. Kala itu usianya 30 tahun. Kedatangannya ke Samarinda mengemban tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan penelitian di wilayah tenggara Kalimantan. Ia harus menyusun laporan tentang kondisi daratan dan para penduduknya serta mengumpulkan spesimen.

Bock berangkat dari Batavia (kini Jakarta) pada 20 Juni 1879. Ia transit di Surabaya, kemudian tiba di Makassar pada 6 Juli. Setelah delapan hari berdiam di daerah Pulau Sulawesi itu, Bock berangkat menyeberangi Selat Makassar. Diperlukan dua hari perjalanan untuk sampai ke muara Sungai Mahakam.

Bock tiba Palaran pada sore hari 16 Juli 1879. Kapal Bock langsung meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Samarinda. Ia menginap di rumah seorang Tionghoa bernama Kwé Ké Hiang di kawasan Pecinan (kini Jl. Yos Sudarso dan sekitarnya).

Bock menetap di Samarinda selama empat hari guna meneliti situasi dan kondisi di kota pusat perdagangan Kesultanan Kutai Kertanegara itu. Kota Tepian 140 tahun lalu tentu saja berbeda jauh dengan yang sekarang.

Menurut pengamatan Bock, kala itu dataran pesisir Sungai Mahakam penuh dengan pohon nipah. Muara Sungai Mahakam disebutnya bercabang tujuh belas. Dalam penelusurannya, ia merasakan suasana Samarinda yang memprihatikan. “Ini adalah tempat paling menyedihkan yang pernah saya lihat; penduduk asli dan bangunannya sama-sama dalam kemelaratan,” tulis Bock dalam diary-nya.

Saat itu teknologi kamera foto sedang dirintis. Bock tidak mempunyai kamera untuk merekam pemandangan yang dilihatnya. Tetapi, Bock mahir menggambar. Ada beberapa gambar yang dibuatnya mendeskripsikan situasi di Samarinda dan keunikan penduduk serta budaya Kalimantan.

Ketika di Samarinda, Bock mencatat, rumah penduduk rata-rata berkonstruksi bambu. Atapnya dari daun nipah. Tiangnya setinggi 8–10 kaki. Hanya sedikit rumah yang berdinding papan. Rumah rakit masih ada di tepi Mahakam. Bock juga melihat adanya nisan-nisan makam di sekitar perumahan yang susunannya tidak teratur. Meskipun begitu, setiap rumah mempunyai minimal sebuah perahu untuk transportasi.

Di antara perumahan rakyat yang tradisional terlihat pemandangan yang kontras. Ada dua rumah mewah dan megah yang terlihat dari sungai. Yang pertama, rumah penginapan Sultan Kutai yang bertingkat dua dengan atap seng. Di sekeliling tingkat dua terdapat beranda yang panjang. Di samping rumah terdapat gardu penjagaan sebagai pertahanan kota yang dipersenjatai selusin meriam yang sudah berkarat dan mortir kuno.

Rumah megah kedua adalah kediaman Pangeran Bendahara. Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman mengangkat Pangeran Bendahara sebagai kepala polisi di Samarinda untuk mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban. Pangeran Bendahara juga multifungsi sebagai Menteri Luar Negeri Kesultanan, gubernur (kepala pemerintahan) daerah hilir, sekaligus juru dakwah agama Islam.

Pangeran Bendahara adalah keturunan Arab yang datang dari pantai barat Kalimantan. Menurut penelitian S.C. Knappert dalam Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei (1905), nama asli Pangeran Bendahara adalah Syarif Abdurachman bin Segaf. Tokoh ini dikenal pula sebagai penggagas berdirinya Masjid Sirathal Mustaqiem di Samarinda Seberang.

Sejarawan Solco Walle Tromp pada 1887 mengungkap peran penting Pangeran Bendahara. Dalam penelitiannya yang berjudul “Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai, diuraikan latar belakang dan penyebab konflik horizontal antarwarga di Samarinda Seberang pada pertengahan abad ke-19.

Semula, Sultan Kutai menunjuk seorang Banjar bernama Encik Miril untuk menjadi kepala polisi di Samarinda. Selama tujuh bulan Miril belum menuntaskan tugasnya hingga kehadiran Syarif Abdurachman yang mengubah situasi. Sultan mengangkat Syarif Abdurahchman sebagai kepala polisi menggantikan Miril. Konflik dapat diatasi. Sultan pun menyetujui saran Pangeran Bendahara untuk menghapuskan lembaga kesukuan bernama Pua Ado di Samarinda Seberang.

Tanggal 20 Juli 1879 Bock meninggalkan Samarinda. Ia menuju ke Tenggarong dan hulu Mahakam. Misi ekspedisinya masih berlanjut untuk penelitian terhadap orang Dayak.

Membaca catatan sejarah bukan sekadar nostalgia atau mengenang masa lalu belaka. Ada jejak berharga yang menjadi pijakan solusi bagi problematik masa kini. Sejarah yang ditulis Bock hampir satu setengah abad silam mengajarkan warga Samarinda untuk sigap menghadapi naiknya permukaan air hingga menggenangi daratan alias calap.

Laporan Bock mengisyaratkan bahwa sejak dulu penduduk Samarinda menyadari bahwa daratannya rendah, serendah Sungai Mahakam dan cabangnya seperti Karang Mumus. Karenanya, calap atau kondisi terendamnya daratan adalah peristiwa yang sudah diantisipasi agar rumah tidak tenggelam. Caranya dengan membangun rumah bertiang tinggi atau konsep rumah panggung. Namun, dalam tiga dekade terakhir ini, rumah dan bangunan di Samarinda lazim dibangun dengan fondasi yang menutup muka bumi memakai konstruksi beton. Tanah rawa dan areal peresapan air pun ditimbun.

Istilah lokal calap sudah lama akrab bagi masyarakat Samarinda, jauh sebelum maraknya pertambangan batu bara dan pembangunan perumahan di kawasan utara ibu kota Kalimantan Timur awal abad ke-21. Banjir besar 1998 juga tidak disebabkan karena tambang.

Pada situasi tertentu, kita cukup realistis apabila bisa berdamai dengan alam. Kepemilikan atau keberadaan perahu di setiap rumah yang rawan banjir, adalah hal yang rasional. Dulu saja, walaupun dikatakan Bock penduduk Samarinda melarat, setiap rumah mempunyai perahu. Kepemilikan perahu atau jukung adalah keniscayaan bagi orang Samarinda karena kotanya banyak diiris anak-anak dan cabang Sungai Mahakam.

Dengan begitu, selesaikah masalah banjir di ibu kota Kaltim? Tentu saja belum. Penyelesaian masalah banjir dan perbaikan tata kota memerlukan pemimpin bijaksana yang super tegas. Bumi Samarinda yang tanahnya sama rendah ini, tidak selayaknya diserahkan kepada kaum pemilik modal yang merusak lingkungan.

Samarinda tempo dulu sejak zaman kerajaan adalah kota pusat perniagaan bagi warga Kaltim. Samarinda memang sentral perdagangan, tapi bukan lantas menjadi kota yang buminya diperdagangkan secara kemaruk.

Sejarah yang dicatat Carl Bock memberi kita pelajaran.

Penulis: Muhammad Sarip

Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Samarinda Pos edisi Selasa, 6 Agustus 2019 halaman 9 & 15.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar