Sabtu, 21 April 2018

Emansipasi Perempuan Kutai Zaman Dulu

Ratusan tahun sebelum kelahiran Raden Ajeng Kartini 21 April 1879, masyarakat Kutai di daratan timur Pulau Kalimantan sudah mempraktikkan kesetaraan gender secara riil. Persamaan derajat laki-laki dan perempuan itu pun dalam bidang yang strategis, yakni politik pemerintahan.

Kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang selesai ditulis tahun 1849 mewartakan perihal naik tahtanya seorang perempuan bernama Aji Ragi menjadi Raja (Ratu) Kerajaan Kutai Kertanegara. Putri pertama dari Pangeran Dipati Maja Kusuma Ing Martapura itu dinobatkan sebagai Ratu Kutai Kertanegara pada dua dekade penghujung abad ke-17.

Dari riwayat yang ditulis oleh seorang Banjar bernama Muhammad Khatib Tahir ini dapat dianalisis bahwa agama Islam yang menjadi dasar Kerajaan Kutai Kertanegara adalah paham Islam yang berhaluan moderat. Moderat di sini satu di antaranya ialah memerhatikan kesetaraan gender dalam posisi pemimpin. Dengan kata lain, tidak ada diskriminasi jabatan raja bagi gender perempuan. Hal ini berbeda dengan paham atau aliran lain yang melarang pemimpin bangsa atau negara dari kaum perempuan.

Jadi, jauh sebelum Kartini dikenal melalui surat-surat pribadinya yang dibukukan Pemerintah Hindia Belanda (1911) mengenai ide persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum bagi perempuan, rakyat Kutai era klasik sudah terbiasa dengan emansipasi perempuan.

Keturunan ke-10 dari Aji Batara Agung Dewa Sakti, yakni Aji Ragi yang bergelar Ratu Agung, penguasa singgasana Kutai Kertanegara periode 1686–1700, adalah jejak historis yang terekam dalam sejarah Kutai yang dulu gilang-gemilang.

Referensi:
Muhammad Sarip, Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar