Kamis, 08 November 2018

Aneh, TMP Zonder Pahlawan Nasional


“Aneh, negara zonder tentara.”

Zonder dari bahasa Belanda, artinya tanpa. Suatu keganjilan jika ada negara tanpa memiliki angkatan perang. Ungkapan ini dipopulerkan Oerip Soemohardjo usai Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 karena ketiadaan angkatan bersenjata untuk Negara Republik Indonesia yang baru berdiri.

“Aneh, TMP zonder Pahlawan Nasional.” Ini kata saya.


TMP singkatan dari Taman Makam Pahlawan. Di Samarinda terdapat TMP yang bernama Kusuma Bangsa. Hampir seratus jenazah bersemayam di TMP di ibu kota Provinsi Kalimantan Timur ini. Setiap pusara dilengkapi nisan bernama masing-masing jenazah plus helm tempur.

Yang dimakamkan di lokasi pertigaan Jalan Kesuma Bangsa dan Jalan Pahlawan ini adalah kalangan ABRI, pejuang rakyat, dan pegawai sipil. Artinya, tidak harus pejuang kemerdekaan atau angkatan 45 untuk bisa dimakamkan di TMP yang dibangun pada 1971 ini. Tokoh birokrat yang dianggap berprestasi dalam pembangunan daerah juga banyak yang dimakamkan di sini.

Setiap 17 Agustus, 10 November, dan hari besar nasional lainnya pemerintah daerah serta masyarakat rutin menggelar seremomial di TMP tingkat provinsi ini. Tabur bunga, renungan suci, atau doa bersama biasa dilakukan. “Untuk menghormati dan mengenang jasa pahlawan,” ungkapan standarnya. “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” ujaran yang dikutip dari Bung Karno sebagai satu alasan gelaran seremoni.

Namun, patut dikritisi, apakah pengunjung TMP Kusuma Bangsa mengetahui dan memahami sejarah para almarhum yang disemayamkan di sana? Disesalkan apabila kedatangan ke TMP hanya formalitas demi publikasi dan pencitraan atau sekadar rutinitas kewajiban, tanpa pengetahuan substansi perjuangan pahlawan.

Ironisnya, di TMP Kusuma Bangsa tidak ada satu pun makam Pahlawan Nasional. Sejak bergabung ke Republik Indonesia 1950, Kalimantan Timur memang belum mempunyai seorang tokoh pun yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Pertanyaannya, apakah ini berarti Kaltim tidak memiliki riwayat perjuangan yang heroik untuk NKRI? Tentu saja rakyat Kaltim ada yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sebagian rakyat berjuang dengan menjadi gerilyawan bersenjata.

Puncak aksi juang fisik adalah pertempuran Sanga Sanga Januari 1947 yang menimbulkan ratusan korban jiwa. Sebanyak 73 jenazah pejuang Sanga Sanga dimakamkan di TMP Wadah Batuah di Sanga Sanga (Kabupaten Kutai Kartanegara). Kemudian, 27 jenazah pejuang Sanga Sanga lainnya dimakamkan di TMP Kusuma Bangsa Samarinda.

Akan tetapi, seluruh pejuang Sanga Sanga tidak ada yang berkategori Pahlawan Nasional. Pemerintah daerah tidak pernah mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk memberi gelar Pahlawan Nasional kepada pemimpin pejuang Sanga Sanga seperti Soekasmo dan Boediojo alias Boediono.

Bagaimanakah bisa diusulkan gelar Pahlawan Nasional, jika riwayat hidup para pemimpin pertempuran Sanga Sanga tidak pernah diteliti dan ditulis secara khusus? Padahal, tulisan ilmiah mengenai riwayat hidup mereka merupakan satu di antara syarat administrasi pengusulan gelar Pahlawan Nasional.

Dalam konteks nihilnya Kaltim akan Pahlawan Nasional, sementara provinsi tetangga satu pulau sudah memilikinya (kecuali Kalimantan Utara yang dimekarkan dari Kaltim), jelas bahwa Kaltim urgen juga memiliki Pahlawan Nasional. Ini bukan persoalan sauvinisme atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa yang berlebihan.

Dalam lima bulan terakhir ini, suatu gerakan intelektual masyarakat memulai proses usulan gelar Pahlawan Nasional bagi seorang tokoh Benua Etam yang dinilai paling realistis memenuhi kualifikasi. Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) merupakan pihak yang mendeklarasikan usulan tersebut.

Memerhatikan kegagalan pemerintah daerah dalam mengusulkan gelar Pahlawan Nasional bagi kalangan aristokrat atau bangsawan kerajaan lokal pada jalur perjuangan bersenjata, kini usulan bergeser ke tokoh yang berjuang melalui jalur diplomasi atau politik. Hal ini mengingat bahwa Pahlawan Nasional tidak semata dari tokoh pejuang fisik, tapi ada yang berkiprah di bidang politik atau diplomasi.

Nama-nama semisal Muhammad Yamin, Soepomo, Sutan Syahrir, M. Natsir, Frans Kaisiepo, bukanlah gerilyawan tapi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. K.H. Idham Chalid juga tidak pernah memanggul senjata fisik untuk dianugerahi Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan.

Demikian pula di Kaltim. Ada putra Samarinda kelahiran 2 Juni 1924 yang sejak remaja berkiprah dalam pergerakan kebangsaan di ibu kota Oost Borneo (sebutan Kaltim zaman kolonial). Dalam usia 16 tahun ia mendirikan sekaligus mengetuai Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) di Samarinda pada 1940.

Pemuda bernama Abdoel Moeis Hassan itu adalah pemimpin pejuang Republiken di Samarinda dan Kaltim pada masa Revolusi Kemerdekaan 1946–1949. Republiken merupakan istilah untuk kaum pembela Republik Indonesia sebagai pembeda dengan kaum pendukung pemerintahan sipil Belanda NICA dan negara boneka Van Mook.

Abdoel Moeis Hassan adalah pendiri Ikatan Nasional Indonesia (INI) Samarinda dan Ketua Front Nasional yang konsisten menentang usaha Belanda membentuk negara boneka Kalimantan. Moeis juga yang usai penyerahan kedaulatan RIS 27 Desember 1945 menuntut supaya Kaltim keluar dari negara federal RIS dan berintegrasi ke NKRI pada 1950.

Sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Kaltim sejak 1950 hingga 1959, Moeis tampil menjadi pelopor pembaharuan di Benua Etam. Gagagan penghapusan sistem feodalisme untuk demokratisasi pemerintahan lokal berhasil diwujudkan pada akhir 1959. Idenya mendirikan Provinsi Kaltim disetujui pemerintah pusat pada 1956 dengan realisasi pada 9 Januari 1957.

Sempat diangkat Presiden Sukarno sebagai wakil rakyat Kaltim di DPR RI pada 1960–1962, Moeis menjadi Ketua Komisi Gabungan di DPR RI yang bertugas menyelesaikan RUU Pokok Pemerintahan Daerah dan RUU Pokok Agraria. Terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan peristiwa monumental dalam sejarah nasional. Hal ini karena UU tersebut menjadi pemicu penghapusan peraturan pertanahan warisan pemerintah kolonial Belanda.

Puncak karier sebagai Gubernur Kaltim, Moeis berperan strategis dalam menjaga keseimbangan situasi politik daerah akibat seruan Dwikora dan anti-nekolim. Di antara jasanya adalah berhasil mencegah pembakaran keraton Kutai Kertanegara di Tenggarong oleh massa dan tentara suruhan Panglima Kodam IX Mulawarman tahun 1964. Moeis telah menyelamatkan warisan sejarah dan budaya Kutai.

Sejarah juang Abdoel Moeis Hassan bukanlah cerita dongeng atau fiksi yang didramatisasi. Penelitian sejarah oleh Lasaloka-KSB murni tanpa pesanan dan bayaran dari pihak mana pun, termasuk keluarga almarhum. Tidak ada latar belakang politik praktis dalam penyusunan karya tulis ilmiah biografi almarhum.

Maka, kinilah saatnya Kaltim bangga dengan tokoh pejuangnya. Sejarah perjuangan Abdoel Moeis Hassan sudah dua kali diseminarkan di Samarinda, 2 Juni dan 29 Oktober 2018. Berkas dan dokumen sebagai syarat administrasi sesuai regulasi sudah diserahkan kepada Dinas Sosial Kota Samarinda. Menurut prosedur, tugas Dinas Sosial menyelenggarakan sebuah seminar nasional untuk melengkapi persyaratan sebelum usulan dilanjutkan ke birokrasi tingkat provinsi dan tingkat pusat.

Para deklarator usulan calon Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan bukanlah anggota partai politik, bukan pula politikus, dan bukan caleg. Saya bersama Bpk. Fajar Alam, Sdr. Arief Rahman, dan Sdri. Nabila Nandini sebagai deklarator juga bukan anggota tim sukses atau tim kampanye politikus. Kami hanya ingin membalas jasa kepahlawanan Abdoel Moeis yang signifikan bagi bangsa ini, supaya tidak menjadi generasi yang durhaka terhadap perjuangannya.

Penting disadari, jangan sampai orang yang bukan pejuang amat diagungkan tapi yang riil berjuang malah terlupakan. Khusus tokoh Moeis, diharapkan khalayak segera menyadari bahwa Moeis sang pejuang ini belum dihargai secara wajar. Jangan terkecoh dengan nama RSUD I.A. (Inche Abdoel) Moeis di Samarinda Seberang. Itu bukanlah nama Moeis yang pejuang dan gubernur. Inche Abdoel Moeis bukan orang yang sama dengan Abdoel Moeis Hassan. Inche tidak pernah menjadi gubernur. Bedanya lagi, Moeis yang pejuang itu para keturunannya tidak ada yang menjadi politikus.

Abdoel Moeis Hassan—terlepas dari usulan calon Pahlawan Nasionalnya yang masih berproses di Dinas Sosial Kota—adalah teladan bagi masyarakat Kaltim. TMP Kusuma Bangsa layak memiliki jenazah sang pembela Republik ini.

Kelak, masyarakat yang berkunjung ke TMP Kusuma Bangsa akan secara riil berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Pahlawan Nasional. Konsekuensinya, ungkapan “Aneh, TMP zonder Pahlawan Nasional” niscaya akan berganti, “Di TMP ini bersemayam Pahlawan Nasional”.

Selamat Hari Pahlawan.

Penulis: Muhammad Sarip
***
Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Jumat, 9 November 2018 halaman 10.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar