“Aneh, negara zonder tentara.”
Zonder dari bahasa Belanda, artinya tanpa. Suatu keganjilan
jika ada negara tanpa memiliki angkatan perang. Ungkapan ini dipopulerkan Oerip
Soemohardjo usai Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 karena ketiadaan angkatan
bersenjata untuk Negara Republik Indonesia yang baru berdiri.
“Aneh, TMP zonder Pahlawan Nasional.” Ini
kata saya.
TMP singkatan dari Taman Makam Pahlawan. Di Samarinda
terdapat TMP yang bernama Kusuma Bangsa. Hampir seratus jenazah bersemayam di
TMP di ibu kota Provinsi Kalimantan Timur ini. Setiap pusara dilengkapi nisan bernama
masing-masing jenazah plus helm tempur.
Yang dimakamkan di lokasi pertigaan Jalan
Kesuma Bangsa dan Jalan Pahlawan ini adalah kalangan ABRI, pejuang rakyat, dan
pegawai sipil. Artinya, tidak harus pejuang kemerdekaan atau angkatan 45 untuk
bisa dimakamkan di TMP yang dibangun pada 1971 ini. Tokoh birokrat yang
dianggap berprestasi dalam pembangunan daerah juga banyak yang dimakamkan di
sini.
Setiap 17 Agustus, 10 November, dan hari
besar nasional lainnya pemerintah daerah serta masyarakat rutin menggelar
seremomial di TMP tingkat provinsi ini. Tabur bunga, renungan suci, atau doa
bersama biasa dilakukan. “Untuk menghormati dan mengenang jasa pahlawan,”
ungkapan standarnya. “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” ujaran yang
dikutip dari Bung Karno sebagai satu alasan gelaran seremoni.
Namun, patut dikritisi, apakah pengunjung TMP
Kusuma Bangsa mengetahui dan memahami sejarah para almarhum yang disemayamkan
di sana? Disesalkan apabila kedatangan ke TMP hanya formalitas demi publikasi
dan pencitraan atau sekadar rutinitas kewajiban, tanpa pengetahuan substansi
perjuangan pahlawan.
Ironisnya, di TMP Kusuma Bangsa tidak ada
satu pun makam Pahlawan Nasional. Sejak bergabung ke Republik Indonesia 1950,
Kalimantan Timur memang belum mempunyai seorang tokoh pun yang dinobatkan sebagai
Pahlawan Nasional.
Pertanyaannya, apakah ini berarti Kaltim
tidak memiliki riwayat perjuangan yang heroik untuk NKRI? Tentu saja rakyat
Kaltim ada yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sebagian rakyat berjuang
dengan menjadi gerilyawan bersenjata.
Puncak aksi juang fisik adalah pertempuran
Sanga Sanga Januari 1947 yang menimbulkan ratusan korban jiwa. Sebanyak 73
jenazah pejuang Sanga Sanga dimakamkan di TMP Wadah Batuah di Sanga Sanga
(Kabupaten Kutai Kartanegara). Kemudian, 27 jenazah pejuang Sanga Sanga lainnya
dimakamkan di TMP Kusuma Bangsa Samarinda.
Akan tetapi, seluruh pejuang Sanga Sanga
tidak ada yang berkategori Pahlawan Nasional. Pemerintah daerah tidak pernah
mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk memberi gelar Pahlawan Nasional
kepada pemimpin pejuang Sanga Sanga seperti Soekasmo dan Boediojo alias
Boediono.
Bagaimanakah bisa diusulkan gelar Pahlawan
Nasional, jika riwayat hidup para pemimpin pertempuran Sanga Sanga tidak pernah
diteliti dan ditulis secara khusus? Padahal, tulisan ilmiah mengenai riwayat
hidup mereka merupakan satu di antara syarat administrasi pengusulan gelar Pahlawan
Nasional.
Dalam konteks nihilnya Kaltim akan Pahlawan
Nasional, sementara provinsi tetangga satu pulau sudah memilikinya (kecuali
Kalimantan Utara yang dimekarkan dari Kaltim), jelas bahwa Kaltim urgen juga
memiliki Pahlawan Nasional. Ini bukan persoalan sauvinisme atau paham mengenai
cinta tanah air dan bangsa yang berlebihan.
Dalam lima bulan terakhir ini, suatu gerakan
intelektual masyarakat memulai proses usulan gelar Pahlawan Nasional bagi
seorang tokoh Benua Etam yang dinilai paling realistis memenuhi kualifikasi. Lembaga
Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) merupakan pihak
yang mendeklarasikan usulan tersebut.
Memerhatikan kegagalan pemerintah daerah
dalam mengusulkan gelar Pahlawan Nasional bagi kalangan aristokrat atau
bangsawan kerajaan lokal pada jalur perjuangan bersenjata, kini usulan bergeser
ke tokoh yang berjuang melalui jalur diplomasi atau politik. Hal ini mengingat
bahwa Pahlawan Nasional tidak semata dari tokoh pejuang fisik, tapi ada yang
berkiprah di bidang politik atau diplomasi.
Nama-nama semisal Muhammad Yamin, Soepomo,
Sutan Syahrir, M. Natsir, Frans Kaisiepo, bukanlah gerilyawan tapi ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional. K.H. Idham Chalid juga tidak pernah memanggul
senjata fisik untuk dianugerahi Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan.
Demikian pula di Kaltim. Ada putra Samarinda
kelahiran 2 Juni 1924 yang sejak remaja berkiprah dalam pergerakan kebangsaan
di ibu kota Oost Borneo (sebutan Kaltim zaman kolonial). Dalam usia 16
tahun ia mendirikan sekaligus mengetuai Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) di
Samarinda pada 1940.
Pemuda bernama Abdoel Moeis Hassan itu adalah
pemimpin pejuang Republiken di Samarinda dan Kaltim pada masa Revolusi
Kemerdekaan 1946–1949. Republiken merupakan istilah untuk kaum pembela Republik
Indonesia sebagai pembeda dengan kaum pendukung pemerintahan sipil Belanda NICA
dan negara boneka Van Mook.
Abdoel Moeis Hassan adalah pendiri Ikatan
Nasional Indonesia (INI) Samarinda dan Ketua Front Nasional yang konsisten
menentang usaha Belanda membentuk negara boneka Kalimantan. Moeis juga yang usai
penyerahan kedaulatan RIS 27 Desember 1945 menuntut supaya Kaltim keluar dari
negara federal RIS dan berintegrasi ke NKRI pada 1950.
Sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI)
Kaltim sejak 1950 hingga 1959, Moeis tampil menjadi pelopor pembaharuan di
Benua Etam. Gagagan penghapusan sistem feodalisme untuk demokratisasi pemerintahan
lokal berhasil diwujudkan pada akhir 1959. Idenya mendirikan Provinsi Kaltim
disetujui pemerintah pusat pada 1956 dengan realisasi pada 9 Januari 1957.
Sempat diangkat Presiden Sukarno sebagai
wakil rakyat Kaltim di DPR RI pada 1960–1962, Moeis menjadi Ketua Komisi Gabungan di DPR RI yang
bertugas menyelesaikan RUU Pokok Pemerintahan Daerah dan RUU Pokok Agraria.
Terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
merupakan peristiwa monumental dalam sejarah nasional. Hal ini karena UU
tersebut menjadi pemicu penghapusan peraturan pertanahan warisan pemerintah
kolonial Belanda.
Puncak karier sebagai Gubernur Kaltim, Moeis berperan strategis dalam
menjaga keseimbangan situasi politik daerah akibat seruan Dwikora dan anti-nekolim. Di antara jasanya adalah
berhasil mencegah pembakaran keraton Kutai Kertanegara di Tenggarong oleh massa dan tentara suruhan
Panglima Kodam IX Mulawarman tahun 1964. Moeis telah menyelamatkan warisan
sejarah dan budaya Kutai.
Sejarah juang Abdoel Moeis Hassan bukanlah cerita dongeng atau fiksi
yang didramatisasi. Penelitian sejarah oleh Lasaloka-KSB murni tanpa pesanan
dan bayaran dari pihak mana pun, termasuk keluarga almarhum. Tidak ada latar
belakang politik praktis dalam penyusunan karya tulis ilmiah biografi almarhum.
Maka, kinilah saatnya Kaltim bangga dengan tokoh pejuangnya. Sejarah
perjuangan Abdoel Moeis Hassan sudah dua kali diseminarkan di Samarinda, 2 Juni
dan 29 Oktober 2018. Berkas dan dokumen sebagai syarat administrasi sesuai
regulasi sudah diserahkan kepada Dinas Sosial Kota Samarinda. Menurut prosedur,
tugas Dinas Sosial menyelenggarakan sebuah seminar nasional untuk melengkapi
persyaratan sebelum usulan dilanjutkan ke birokrasi tingkat provinsi dan
tingkat pusat.
Para deklarator usulan
calon Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan bukanlah anggota partai politik,
bukan pula politikus, dan bukan caleg. Saya bersama Bpk. Fajar Alam, Sdr. Arief
Rahman, dan Sdri. Nabila Nandini sebagai deklarator juga bukan anggota tim
sukses atau tim kampanye politikus. Kami hanya ingin membalas jasa kepahlawanan
Abdoel Moeis yang signifikan bagi bangsa ini, supaya tidak menjadi generasi
yang durhaka terhadap perjuangannya.
Penting disadari, jangan sampai orang yang bukan pejuang amat diagungkan
tapi yang riil berjuang malah terlupakan. Khusus tokoh Moeis, diharapkan khalayak
segera menyadari bahwa Moeis sang pejuang ini belum dihargai secara wajar.
Jangan terkecoh dengan nama RSUD I.A. (Inche Abdoel) Moeis di Samarinda
Seberang. Itu bukanlah nama Moeis yang pejuang dan gubernur. Inche Abdoel Moeis
bukan orang yang sama dengan Abdoel Moeis Hassan. Inche tidak pernah menjadi
gubernur. Bedanya lagi, Moeis yang pejuang itu para keturunannya tidak ada yang
menjadi politikus.
Abdoel Moeis Hassan—terlepas dari usulan calon Pahlawan Nasionalnya yang
masih berproses di Dinas Sosial Kota—adalah teladan bagi masyarakat Kaltim. TMP
Kusuma Bangsa layak memiliki jenazah sang pembela Republik ini.
Kelak, masyarakat yang berkunjung ke TMP Kusuma
Bangsa akan secara riil berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Pahlawan
Nasional. Konsekuensinya, ungkapan “Aneh, TMP zonder Pahlawan Nasional” niscaya akan berganti, “Di TMP ini
bersemayam Pahlawan Nasional”.
Selamat Hari Pahlawan.
Penulis: Muhammad Sarip
***
Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Jumat, 9 November 2018 halaman 10.
Berita & Artikel Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar